Laporan PKL Alat Tangkap Bagan Congkel

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalimantan Timur dengan luas 211.440 km2 memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam yang cukup luas untuk usaha perikanan dengan luas perairan laut sekitar 120.000 km2 dan perairan umum 2.893.937 km2 serta luas hutan bakau          91.380 km2. Kegiatan usaha perikanan di Kalimantan Timur meliputi usaha penangkapan baik di perairan laut maupun perairan umum, dan budidaya (Anonim; Dinas Perikanan Kalimantan Timur, 2000).
Dalam usaha perikanan, keberhasilan di bidang penangkapan ikan sangat tergantung pada alat tangkap dan keahlian yang dimiliki oleh nelayan. Selain itu, perlu juga diperhatikan tentang tingkah laku ikan yang akan ditangkap serta pengetahuan mengenai daerah penangkapan. Semakin tinggi hasil tangkapan maka semakin tinggi pendapatan sehingga usaha penangkapan akan terus berkembang.
Sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah Kuala Samboja bermata pencaharian sebagai nelayan. Berbagai jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan di perairan Kuala Samboja, satu di antaranya adalah bagan congkel (Stif hald dift net).
Bagan congkel termasuk jaring angkat, yaitu jaring yang biasanya berbentuk empat persegi panjang, di bentangkan di dalam air secara horizontal dengan menggunakan batang bambu dan besi yang berfungsi sebagai penahan jaring.
Pada umumnya bagan congkel dioperasikan oleh nelayan Kuala Samboja pada waktu malam hari di saat bulan gelap, terutama untuk menagkap jenis-jenis ikan dan biota air lainnya yang bergerak pada malam hari. Daerah penangkapan alat tangkap bagan congkel adalah di daerah zona territorial hingga ZEEI (zone eksklusife economic Indonesian)  karena tingkat kesuburannya tinggi dan merupakan tempat ikan bermigasi. Cahaya merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap bagan congkel yang dioperasikan pada malam hari. Cahaya berfungsi untuk mengumpulkan ikan di sekitar area penangkapan.
B. Tujuan
Laporan praktek kerja lapangan ini bertujuan untuk mengetahui hasil tangkapan bagan congkel pada musim timur di perairan Kuala Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara.
C. Manfaat
Hasil pengamatan praktek kerja lapangan dapat memberikan informasi kepada nelayan tentang hasil tangkapan ikan menggunakan bagan congkel di perairan Kuala Samboja, terutama nelayan setempat, instansi terkait serta sebagai bahan penunjang untuk penelitian ke depan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Alat Tangkap Bagan Congkel
Bagan adalah alat tangkap yang menggunakan cahaya sebagai alat untuk menarik dan mengumpulkan ikan di daerah cakupan alat tangkap, sehingga memudahkan dalam proses penangkapan. Bagan congkel (Stife hald dift net) adalah alat penangkap ikan yang dioperasikan dengan cara diturunkan ke kolom perairan dan diangkat kembali setelah banyak ikan di atasnya, dalam pengoperasiannya menggunakan kapal atau perahu untuk berpindah-pindah ke lokasi yang diperkirakan banyak ikannya. Dalam operasinya bagan dilengkapi dengan jaring yang berbentuk kubus untuk membatasi gerak renang ikan kemudian diangkat agar ikan tidak dapat lolos lagi (Ayodhyoa, 1981).
Bagan diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu : bagan tancap dan bagan terapung. Berdasarkan alat pengapungnya bagan dibagi menjadi tiga golongan yaitu : 1) bagan apung satu perahu, 2) bagan apung dua perahu, 3) bagan apung memakai rakit. Bagan tancap merupakan alat penangkapan yang menetap pada suatu tempat dalam waktu tertentu sedangkan bagan apung merupakan alat penangkapan yang dapat berpindah-pindah dan menggunakan lampu sebagai alat untuk menarik perhatian ikan. Alat ini hanya dioperasikan pada malam hari pada perairan yang arusnya tidak terlalu kuat. Alat tangkap bagan termasuk kedalam alat tangkap jenis with lift net, dimana proses kerjanya adalah dengan mengusahakan agar berbagai jenis ikan dan biota air lainnya dapat berkumpul diatas jaring bagan, yang kemudian alat tangkap tersebut diangkat secepatnya (Gunarso, 1985). Selain itu bagan termasuk light fishing yang menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik ikan untuk berkumpul di bawah cahaya lampu (Ayodhyoa, 1981).
 Nomura (dalam Kamal, 1991) mengklasifikasikan jaring angkat atau bagan ini dalam beberapa tipe yaitu, tipe bundar, segi empat, empat persegi panjang dan lain-lain. Jaring pengangkat mempunyai bingkai yang dapat menangkap ikan ketika jaring-jaring tersebut diangkat secara vertikal. Sebagian besar jaring digantung, sehingga ikan akan menghampiri jaring dengan bantuan umpan atau cahaya lampu, setelah itu jaring diangkat dengan cepat untuk menangkap ikan tersebut. Spesies yang akan ditangkap adalah ikan yang mempunyai kebiasaan bergerombol dan suka pada cahaya lampu atau umpan.
1. Konstruksi
Secara umum konstruksi unit penangkapan bagan congkel terdiri atas kerangka kayu, bambu, pralon, waring atau jaring (dari bahan polyethylene). Pada bagan terdapat alat penggulung atau roller yang berfungsi untuk menurunkan atau mengangkat jaring. Ukuran untuk alat tangkap bagan congkel beragam mulai dari panjang = 15 m; lebar = 2,5 m; tinggi = 1,2 m hingga panjang = 29 m; lebar = 29 m; tinggi = 17 m.
      Mata jaring bagan congkel umumnya berukuran 0,5 cm. Ukuran mata jaring ini berkaitan erat dengan sasaran utama ikan yang tertangkap, yaitu ikan teri yang berukuran kecil. Jika ukuran mata jaring terlalu besar, maka ikan tersebut tidak tertangkap.
2. Kelengkapan dalam Unit Penangkapan Ikan
1) Kapal
Kapal merupakan alat untuk transportasi, dan membawa barang untuk mencari ikan di laut. Kapal bagan congkel dapat berpindah dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya.
2) Nelayan
Nelayan yang mengoperasikan bagan congkel berjumlah 4-6 orang,  yang bertugas mengemudikan kapal, memesak,  dan bertugas melakukan persiapan seluruh kegiatan operasi penangkapan ikan.
3) Alat Bantu
Pengoperasian bagan congkel menggunakan alat bantu lampu telah lama di kenal nelayan. Lampu berfungsi sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik perhatian ikan agar berkumpul di bawah cahaya lampu. Jenis lampu yang digunakan oleh bagan congkel sebagai atraktor untuk memikat ikan yaitu lampu neon dan lampu merkuri. Selain lampu, bagan congkel menggunakan serok untuk mengambil hasil tangkapan. Jumlah lampu yang digunakan bervariasi tergantung kebiasaan masyarakat setempat. Ikan yang bersifat fototaksis positif akan tertarik pada cahaya dengan intensitas tertentu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diperlukan suatu informasi tentang sejauh mana pengaruh jumlah lampu pada bagan congkel terhadap hasil tangkapan ikan.
 Penggunaan cahaya sebagai alat bantu penangkapan, umumnya dilakukan nelayan dengan intensitas cahaya yang sangat tinggi. Mereka beranggapan bahwa semakin terang cahaya maka semakin tinggi hasil yang akan mereka dapat. Menurut Huster dalam Laevastu dan Hela (1974), bahwa gerombolan ikan akan menyebar pada malam gelap karena berusaha mendapatkan makanan.
Ditambahkan pula oleh (Gunarso, 1985) bahwa pemanfaatan cahaya akan mudah tereduksi sejalan dengan semakin dalam suatu perairan. Pembalikan dan pemancaran cahaya yang disebabkan oleh berbagai macam partikel dalam air, keadaan cuaca dan gelombang memberikan andil pada pereduksian cahaya yang diterima air.
3. Metode Pengoperasian
Tahapan-tahapan metode pengoperasian bagan congkel adalah sebagai berikut :
1) Persiapan menuju fishing ground, biasanya terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan persiapan terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pengoperasian bagan congkel. Pemeriksaan dan perbaikan terutama dilakukan terhadap lampu dan mesin kapal. Persiapan lain yang dianggap penting adalah kebutuhan perbekalan operasi penangkapan seperti air tawar, solar, minyak tanah, garam dan bahan makanan.
2) Pengumpulan ikan, ketika tiba di lokasi fishing ground dan hari menjelang malam, maka lampu dinyalakan dan jaring biasanya tidak langsung diturunkan hingga tiba saatnya ikan terlihat berkumpul di lokasi bagan atau ingin masuk ke dalam area cahaya lampu. Namun tidak menutup kemungkinan ada pula sebagian nelayan yang langsung menurunkan jaring setelah lampu dinyalakan.
3) Setting, setelah menunggu beberapa jam dan ikan mulai terlihat berkumpul di lokasi penangkapan, maka jaring diturunkan ke perairan. Jaring biasanya diturunkan secara perlahan-lahan dengan memutar roller. Penurunan jaring beserta tali penggantung dilakukan hingga jaring mencapai kedalaman yang diinginkan. Proses setting ini berlangsung tidak membutuhkan waktu yang begitu lama. Banyaknya setting tergantung pada keadaan cuaca dan situasi hasil tangkapan, serta kondisi perairan pada saat operasi penangkapan.
4) Perendaman jaring (soaking), selama jaring berada di dalam air, nelayan melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan di sekitar kapal untuk memperkirakan kapan jaring akan diangkat. Lama jaring berada di dalam perairan (perendaman jaring) bukan bersifat ketetapan, karena nelayan tidak pernah menentukan dan menghitung lamanya jaring di dalam perairan dan kapan jaring akan diangkat namun hanya berdasarkan penglihatan dan pengamatan adanya ikan yang berkumpul di bawah cahaya lampu.
5) Pengangkatan jaring (lifting), lifting dilakukan setelah kawanan ikan terlihat berkumpul di lokasi penangkapan. Kegiatan lifting ini diawali dengan pemadaman lampu secara bertahap. Hal ini dimaksudkan agar ikan tidak terkejut dan tetap terkosentrasi pada bagian kapal di sekitar lampu yang masih menyala. Ketika ikan sudah berkumpul di tengah-tengah jaring, jaring tersebut mulai ditarik ke permukaan hingga akhirnya ikan akan tertangkap oleh jaring.
6) Brailing, setelah bingkai jaring naik ke atas permukaan air, maka tali penggantung pada ujung dan bagian tengah rangka dilepas dan dibawa ke satu sisi kapal, tali kemudian dilewatkan pada bagian bawah kapal beserta jaringnya. Tali pemberat ditarik ke atas agar mempermudah penarikan jaring dan lampu dihidupkan lagi. Jaring kemudian ditarik sedikit demi sedikit dari salah satu sisi kapal ke atas kapal. Hasil tangkapan yang telah terkumpul diangkat ke atas dek kapal dengan menggunakan serok.
7) Penyortiran ikan, setelah diangkat di atas dek kapal, dilakukan penyortiran ikan. Penyortiran ini biasanya dilakukan berdasarkan jenis ikan tangkapan, ukuran dan lain-lain. Ikan yang telah disortir langsung dimasukkan ke dalam wadah atau peti/box sterofom untuk memudahkan pengangkutan.
4. Daerah Pengoperasian
Pada umumnya daerah pengoperasian alat tangkap bagan congkel adalah perairan yang subur dan tidak banyak dipengaruhi oleh adanya gelombang besar, angin kencang dan arus yang kuat. Bagan congkel banyak tersebar di daerah perikanan laut di Indonesia, contohnya: Lampung dan Samboja.
5. Hasil Tangkapan
Hasil tangkapan bagan congkel umumnya adalah ikan pelagis kecil seperti tembang (Clupea sp.), teri (Stolephorus sp.), japuh (Dussumiera sp.), selar (Charanx sp.), pepetek (Leiognathus sp.), kerot-kerot (Therapon sp.), cumi-cumi (Loligo sp.), sotong (Sepia sp.), layur (Trichiurus sp.) dan kembung (Rastrelliger sp.) (Subani ,1972).
B. Penggunaan Lampu
1. Sejarah Penggunaan Lampu
Pada mulanya penggunaan lampu untuk penangkapan masih terbatas pada daerah-daerah tertentu dan umumnya dilakukan hanya di tepi-tepi pantai dengan menggunakan jaring pantai (beach seine), serok (scoop net) dan pancing (hand line). Pada tahun 1953 perkembangan penggunaan lampu untuk tujuan penangkapan ikan tumbuh dengan pesat bersamaan dengan perkembangan bagan (jaring angkat, lift net) untuk penangkapan ikan. Saat ini pemanfaatan lampu tidak hanya terbatas pada daerah pantai, tetapi juga dilakukan pada daerah lepas pantai yang penggunaannya disesuaikan dengan keadaan perairan seperti alat tangkap payang, purse seine dan sebagainya.
Penggunaan cahaya (lampu) untuk penangkapan ikan di Indonesia dan siapa yang memperkenalkannya belumlah jelas. Meskipun demikian di daerah-daerah perikanan Indonesia Timur, khususnya dimana usaha penangkapan cakalang dengan pole and line dilakukan sekitar tahun 1950 ditemukan kurang lebih 500 buah lampu petromaks yang digunakan untuk penangkapan, dimana tempat-tempat lain belum digunakan (Subani, 1983).
Penggunaan cahaya listrik dalam skala industri penangkapan ikan pertama kali dilakukan di Jepang pada tahun 1900 untuk menarik perhatian berbagai jenis ikan, kemudian berkembang dengan pesat setelah Perang Dunia II. Di Norwegia penggunaan lampu berkembang sejak tahun 1930 dan di Uni Soviet baru mulai digunakan pada tahun 1948 (Nikonorov, 1975).
2. Peranan Cahaya dan Sifat - sifatnya dalam Air
Cahaya merupakan bagian yang fundamental dalam menentukan tingkah laku ikan di laut (Woodhead, 1966). Stimuli cahaya terhadap tingkah laku ikan sangat kompleks antara lain intensitas, sudut penyebaran, polarisasi, komposisi spektralnya dan lama penyinaran. Nicol (1963) telah melakukan suatu telaah mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi sensitifitasnya terhadap cahaya. Tidak semua cahaya dapat diterima oleh mata ikan. Cahaya yang dapat diterima memiliki panjang gelombang pada interval 400 . 750 m (Mitsugi, 1974, Nikonorov, 1975). Penetrasi cahaya dslam air sangat erat hubungannya dengan panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya tersebut. Semakin besar panjang gelombangnya maka semakin kecil daya tembusnya kedalam perairan.
Dengan demikian maka cahaya biru akan menembus jauh ke dalam perairan dari pada warna lainnya. Didalam penerapannya pada operasi penangkapan ikan, maka untuk menarik ikan dari jarak yang jauh baik secara vertikal maupun horizontal digunakan warna biru karena dapat di absorbsi oleh air sangat sedikit sehingga penetrasinya ke dalam perairan sangat tinggi. Untuk mengkonsentrasikan ikan di sekitar Catchable area digunakan warna merah atau kuning karena daya tembusnya rendah. Selain panjang gelombang, faktor lain yang menentukan penetrasi cahaya masuk ke dalam perairan adalah absorbsi cahaya dari partikel-partikel air, kecerahan, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, musim dan lintang geografis. Nilai iluminasi (lux) 12 suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari sumber cahaya tersebut dan nilainya akan berkurang apabila cahaya tersebut masuk ke dalam air karena mengalami pemudaran.
3. Reaksi Ikan Terhadap Cahaya
Ikan dapat memberikan reaksi terhadap cahaya pada kuat penerangan yang lebih kecil berkisar antara 0,01 - 0,001 lux (Laevastu dan Hayes, 1984). Ikan pada umumnya sangat peka terhadap cahaya yang datang dari arah atas (dorsal) dan tidak menyukai cahaya yang datang dari bagian bawah (ventral) tubuhnya. Jika tidak memungkinkan untuk turun ke arah sumber cahaya, maka ikan-ikan tersebut akan menyebar menurut arah horizontal. Ikan apabila dirangsang dengan cahaya lampu akan menimbulkan berbagai respon, antara lain bergerak ke atas secara tiba-tiba, dan terkejut karena shock, tetapi setelah beberapa menit ikan-ikan akan menyebar.
Respon ikan terhadap cahaya berbeda-beda tergantung kepada ukuran dan jenis ikan. Besar kecilnya intensitas cahaya akan mernpengaruhi kecepatan ikan mendekati sumber cahaya. Ikan akan berkumpul dan menetap di sekeliling lampu selama waktu tertentu dan memencar kembali. Ikan bergerak ke permukaan (ke arah lampu) secara perlahan-lahan berkumpul di sekitar lampu dalam waktu yang berbeda tergantung jenisnya (Laevastu dan Hela, 1970).
Ikan yang bersifat fototaksis positif mempunyai labus opticus berukuran besar dan susunan syaraf pusat labus opticus berfungsi penting sebagai pusat indra penglihatan. Pada sisi labus opticus terdapat Fovea atau Lateralen Einschunurung dan ikan yang mempunyai fovea atau lateralen einschunurung umumnya bersifat fototaksis positif (Nomura dan Yamazaki, 1977).
Ikan mempunyai sensitivitas yang lebih baik dalam membedakan gelap dan terang dibandingkan manusia, tapi kemampuannya untuk mengidentifikasi bentuk objek yang dilihatnya hanya sepersepuluh dari kemampuan manusia (Nomura dan Yamazaki, 1977). Ikan sebagaimana hewan lainnya mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk dapat melihat pada waktu siang hari yang penerangannya beberapa ribu lux dan pada keadaan hampir gelap sekalipun (Gunarso, 1985). Kemampuan jarak pandang ikan juga ditentukan oleh tingkat kekeruhan perairan. Perairan dengan kecerahan yang tinggi dan terang akan menyebabkan daya penglihatan ikan lebih baik dibandingkan pada kecerahan yang rendah dan gelap (Gunarso, 1985).
4. Penangkapan Ikan dengan Cahaya
Penggunaan cahaya dalam penangkapan ikan selain ditentukan oleh jumlah cahaya dan besarnya intensitas juga dipengaruhi oleh faktor kecerahan perairan, gelombang, angin dan arus serta faktor cahaya bulan dan pemangsa. Penangkapan ikan dengan bantuan cahaya sangat dipengaruhi oleh fase bulan, posisi bulan, keadaan cuaca, kedalaman renang ikan dan kekuatan sumber cahaya yang digunakan. Satu siklus periode bulan terbagi dalam empat fase dan setiap fase berlangsung selama 7-8 hari. Fase pertama (kwartir-1) dan fase ke tiga (kwartir-3) yaitu bulan memancarkan cahaya dalam keadaan separuh bulat. Fase kedua (kwartir-2) bulan memancarkan cahaya punama (full moon). Kemudian fase keempat (kwartir-4) bulan hanya sesaat dan cahayanya lemah. Waktu yang diperlukan dalam satu periode bulan sekitar 28-29 hari (Nikonorov, 1975).
Penggunaan cahaya dalam penangkapan akan lebih efektif dilakukan pada fase pertama, ketiga dan fase keempat. Sedangkan fase kedua merupakan waktu yang kurang efektif penggunaan cahaya lampu, karena ikan cenderung menyebar secara horizontal, namun pada saat langit berawan efek bulan purnama dapat tereduksi.
Umumnya ikan pelagis muncul ke permukaan menjelang petang sehingga pada malam hari dapat dikumpulkan dengan bantuan cahaya lampu buatan. Efektivitas light fishing biasanya sebelum tengah malam yang menunjukkan bahwa fototoksis maksimal terjadi pada waktu tersebut (Laevastu dan Hayes, 1984 dan Gunarso, 1985).
5. Faktor - faktor Penyebab Ikan Tertarik Pada Cahaya
Beberapa jenis ikan tertarik pada cahaya disebabkan karena beberapa hal, antara lain mencari intensitas cahaya yang optimum, investigatory reflex, mencari makan dan untuk bergerombol. Adanya cahaya di laut merangsang organisme laut tertarik untuk mendekatinya. Hal seperti ini merupakan sumber makanan bagi organisme pemangsa (predator) sehingga pada lapisan air tersebut terdapat suaru komunitas dengan sumber makanan yang kompleks. Selanjutnya dijelaskan bahwa ikan dalam keadaan lapar lebih cepat tertarik pada cahaya dari pada ikan dalam keadaan kenyang. Apabila intensitas cahaya lampu berada pada titik kritis maka ikan akan berhenti makan dan akan menjauhi lapisan air tersebut.
Ketertarikan terhadap cahaya bukan saja tergantung pada sifat fototaksis positif dari ikan tersebut, tetapi faktor ekologis juga berpengaruh terhadap makhluk-makhluk hidup lainnya. Mula-mula yang tertarik untuk mendekati sumber cahaya adalah jenis zooplankton, kemudian diikuti oleh jenis ikan-ikan kecil dan ikan-ikan besar. Laevastu dan Hela, (1970) mengemukakan bahwa ikan yang berkumpul di sekitar sumber cahaya lampu sebanding dengan jumlah makanan yang berada di bawah lampu tersebut.
Mekanisme tertariknya ikan terhadap cahaya lampu belum diketahui dengan jelas, namun diduga berkumpulnya ikan disebabkan oleh keinginan mencari intensitas cahaya yang cocok. Ikan-ikan tertarik atau mendekati cahaya lampu karena bingung dengan adanya latar belakang (back ground) yang gelap (Woodhead, 1966). Berpendapat bahwa penyebab tertariknya ikan terhadap cahaya lampu sebagian didasari oleh dis-orientasi penglihatan ikan pada saat tersebut.
C. Faktor Angin dan Musim
Indonesia beriklim laut tropis karena letaknya di daerah tropis dan diapit oleh dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia memiliki dua Musim yaitu musim hujan atau musim barat (Oktober-April), dan musim kemarau atau musim timur (Mei-September). Namun karena wilayahnya yang luas, keadaan geografisnya yang berbeda- beda serta daerahnya yang dibelah oleh garis khatulistiwa maka sering terjadi perbedaan atau penyimpangan musim.
Daerah tropis dapat berlangsung angin dari tempat maksimum subtropis ke tempat minimum equator, yaitu angin passat timur laut di belahan bumi utara serta angin passat tenggara di belahan bumi selatan. Angin passat banyak membawa uap air dikarenakan berhembus di laut lepas. Walau demikian pada sebagian lokasi dipermukaan bumi angin passat tersebut mengalami pergantian arah akibat dampak lingkungan setempat. Indonesia secara  geografis terdapat diantara dua benua yaitu benua Asia dan Australia  serta dua samudera dan letak matahari yang beralih tiap-tiap enam bulan. Ada di utara serta enam bulan ada di selatan khatulistiwa, maka angin passat tersebut mengalami pergantian jadi angin muson (angin musim) barat serta angin muson timur(wyrtki, 1987).
Di daerah khatulistiwa Samudera Pasifik, angin passat tenggara berhembus dengan normal. Angin passat menyebabkan massa air yang hangat di bagian timur Samudera Pasifik bergerak menuju perairan timur Indonesia. Pergerakan massa air tersebut makin bekurang pada bagian - bagian dari laut Indonesia. Kejadian tersebut sama diperlihatkan pada waktu angin berhembus pada tempat khatulistiwa sepanjang periode pancaroba. Hal ini menyebabkan kepulauan Indonesia yang berada di Samudera Hindia sisi timur dengan Samudera Pasifik sisi barat menyumbangkan area penyimpanan bahang (heat) terbesar didalam lautan dunia yang menyebabkan suhu tinggi. Suhu yang tinggi tersebut dapat merubah pertukaran bahan serta mengatur hubungan pada atmosfer serta lautan yang dapat menyebabkan  cuaca lokal kepulauan Indonesia serta dunia.
Angin pasat tenggara yang terus-merus selama 1 tahun, menyebabkan permukaan laut pantai Mindanao, Halmahera dan  Irian jaya di Samudera Pasifik sisi barat lebih tinggi dibanding permukaan laut selama pantai Sumatera, Jawa dan Sumbawa di Samudera Hindia sisi timur. Akibat adanya gradien tekanan yang disebakan oleh perbedaan tinggi permukaan laut, sebanyak massa air Samudera Pasifik dapat mengalir ke Samudera Hindia (wyrtki, 1987) pola angin di Indonesia yaitu angin muson disebakan karena Indonesia teletak di antara Benua Asia serta Australia di antara Samudera Pasifik serta Samudera Hindia. menurut wyrtki (1961), musim di Indonesia terbagi jadi tiga golongan, yaitu:
1. Musim Angin barat (Desember – April)
Pada musim barat tekanan hawa tinggi berekembang di atas Benua Asia serta pusat tekanan hawa rendah berlangsung di atas Benua Australia. Oleh sebab itu, angin berhembus dari barat laut menuju tenggara. Di pulau jawa angin ini dikenal dengan angin muson barat laut. Musim barat kebanyakan membawa curah hujan yang tinggi di pulau Jawa. Angin muson barat berhembus pada bulan Oktober-April, matahari berada di belahan bumi selatan menimbulkan belahan bumi selatan terutama Australia memperoleh lebih banyak pemanasan matahari dari pada Benua Asia, menyebabkan di Australia bertemperatur tinggi serta tekanan hawa rendah (minimum).
Sebaliknya di Asia yang mulai ditinggalkan matahari temperaturnya rendah serta tekanan udaranya tinggi (maksimum). Oleh karena itu, berlangsung pergerakan angin dari Benua Asia ke Benua Australia sebagai angin muson barat. Angin ini melalui Samudera Pasifik serta Samudera Indonesia dan laut Cina selatan melalui lautan membawa uap air, setelah tiba di kepulauan Indonesia turun hujan pada bulan November, Desember dan Januari di Indonesia bagian barat mengalami musim hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi. 
2. Musim Timur (April - Oktober)
Pada musim timur tekanan hawa rendah yang berlangsung di atas Benua Asia serta tekanan hawa tinggi di atas Benua Australia disebabkan angin berhembus dari tenggara menuju barat laut. Di Pulau Jawa bertiup angin muson tenggara. Sepanjang musim timur, pulau Jawa kebanyakan mengalami kekeringan. Angin muson timur berhembus pada bulan april - oktober, disaat matahari mulai berpindah ke belahan bumi utara. Di belahan bumi utara terutama benua asia temperaturnya tinggi serta tekanan hawa rendah (minimum). Sebaliknya di Benua Australia yang sudah ditinggalkan matahari, temperaturnya rendah serta tekanan hawa tinggi (maksimum). Berlangsungnya pergerakan angin dari Benua Australia ke Benua Asia lewat Indonesia disebut angin muson timur. Oleh karena itu, di Indonesia disebut sebagai musim kemarau.
3. Musim Peralihan (Maret – Mei dan September – November)
Periode bulan Maret – Mei dikenal seagai musim peralihan I atau muson pancaroba awal tahun, namun periode Septemer – November disebut musim peralihan II atau musim pancaroba akhir tahun. Pada musim-musim peralihan, matahari bergerak melintasi khatulistiwa, angin jadi lemah serta arahnya tidak menentu.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
1. Keadaan Umum Daerah Kecamatan Samboja
Kecamamatan Samboja merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas wilayah mencapai 1.045,90 km2. Kecamatan yang berada di tepi  selat Makasar ini terletak pada posisi antara 110 50` BT – 1170 14` BT dan 00 52` LS – 10 08` LS. Ibu Kota Kecamatan Samboja berada di Kelurahan Samboja Kuala yang mempunyai 23 Kelurahan. Berdasarkan Sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk kecamatan Samboja mencapai 54.700 jiwa dengan kepadatan penduduk sebanyak 52 jiwa/km2. Secara geografis Kecamatan Samboja mempunyai batas – batas wilayah sebagai berikut :
a) Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Senipah,
b) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Harapan/Kelurahan Sungai Merdeka
c) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Sungai Seluang
d) Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar.




 
Gambar 1. Peta lokasi tempat praktek kerja lapangan
Wilayah Samboja memiliki letak yang sangat strategis karena langsung berbatasan langsung dengan pintu gerbang Kalimantan Timur, Balikpapan. Samboja juga merupakan wilayah penghasil minyak bumi dan gas alam (migas) yang sangat penting bagi Kutai Kartanegara. Sedikitnya ada 3 perusahaan migas multinasional yang beroperasi di wilayah ini, seperti Total E&P Indonesie, VICO Indonesia dan Chevron Indonesia.
Kecamatan Samboja terkenal sebagai wilayah konservasi hutan lindung dengan nama Taman Hutan Raya Bukit Soeharto serta sebagai kawasan rehabilitasi orang hutan di Wanariset Samboja yang berada di kawasan Samboja Lestari.
Tanah di Kecamatan Samboja, khususnya bagian pantai, pada umumnya adalah tipe tanah berlumpur, pasir berlumpur dan tanah rawa. Di daerah ini tumbuh subur pohon – pohon dari jenis Kelapa (Cocos nucifera sp.), bakau (Bruguera sp.), dan nipah (Nipa proticans sp.), dengan potensi yang demikian ini sangat mendukung untuk dijadikan lahan pertambakan. Nelayan di Kecamatan Samboja dalam menangkap ikan di perairan laut menggunakan bermacam – macam jenis alat tangkap. Hasil tangkapan nelayan tersebut berupa nekton, crutasea, bentos, dan lain – lain. Hasil tangkapan tersebut ada yang di jual pada pasar Kuala Samboja dan ada yang di ekspor. Untuk menunjang perolehan hasil tangkapan tersebut nelayan Kecamatan Samboja memakai bermacam – macam alat tangkap, seperti : jaring ingsang, trammel net, dogol, trawl, purse saine, jermal/julu, pancing, bubu, rakang, belat, bagan tancap, bagan congkel dan alat tangkap lainnya.
2. UPT. Dinas Kelautan dan Perikanan
Unit Pembantu Teknis Dinas Kelautan dan Perikanan di Kecamatan Samboja, berperan besar terhadap perkembangan perikanan budidaya dan perikanan tangkap, sehingga perikanan di daerah tersebut  merupakan sektor unggulan di bidang perikanan. Didukung dengan letak geografis Samboja berada di wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Struktur organisasi UPT. Dinas Perikanan dan Kelautan yaitu sebagai berikut : 
Struktur Organisasi UPT. Dinas Perikanan dan Kelautan Samboja
3. Deskripsi Alat Tangkap Bagan Congkel
Bagan congkel (Stife hald dift net) merupakan alat tangkap yang diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring angkat (lift nets). Alat penangkap ikan ini dioperasikan dengan cara jaring diturunkan ke kolom perairan dan diangkat kembali setelah banyak ikan di atasnya, dalam pengoperasiannya menggunakan kapal atau perahu untuk berpindah-pindah ke lokasi yang diperkirakan banyak ikannya. Kapal bagan congkel di desain dengan sangat lengkap, dengan kontruksi kapal terbuat dari kayu meranti, ulin, bambu dan besi.

1) Kontruksi kapal
a) Tiang utama (kayu) ada 2 unit dan di bantu tiang penyangga 2 unit menyilang
b) Tiang utama (bambu) ada 2 unit sebagai penahan jaring di bantu tali, disebelah kiri dibantu tali penahan sebanyak 8 unit dan disebelah kanan 8 unit dan ditopang oleh 2 lapis bambu + kayu untuk penopang lampu.
c) Tali utama 2 unit berfungsi untuk menarik jaring yang diturunkan kekolom air.
d) Disebelah kiri terdapat kayu yang bersayap yang berfungsi sebagai penyeimbang kapal.

Gambar 2. Alat tangkap bagan congkel
2) Di dalam kapal terdapat alat dan bahan, seperti :
a) Mesin
§ 1 mesin utama
§ 1 mesin untuk lampu dan 6 unit travo
§ 1 mesin untuk menarik rol jaring
§ 1 mesin untuk alkon yang berfungsi untuk membuang air di kapal
§ 1 mesin untuk sound system
b) Ruang nahkoda terdapat alat – alat, seperti :
§ Mesin pengatur lampu
§ Kompas
§ Saklar
§ Salon
§ Alat – alat pancing
§ Stop kontak
§ Koil
§ Makanan ringan
§ GPS Germin
3) Bagian depan kapal
a) Box sterofom
b) Keranjang
c) Mesin untuk menarik jaring
d) Jangkar
e) Tempat menyortir ikan hasil tangkapan
f) Drum plastik
4) Bagian belakang kapal
a) Dapur
b) Tempat makan
5) Lampu
a) 14 lampu di sebelah kanan kapal dan 4 lampu di sebelah kiri kapal.
b) 1 lampu digunakan untuk menyortir ikan.
c) 1 lampu warna kuning digunakan untuk memfokuskan ikan setelah lampu utama di matikan secara bertahap.
d) 10 unit lampu mempunyai daya (1500 watt) dan sisanya (400 watt).

Gambar 3. Lampu pada alat tangkap bagan congkel
6) Jaring
a) Mata jaring atau waring berukuran 0,5 cm.
b) Panjang jaring 14 m yang di ikat kebambu sebagai penopang dalam kolom air.
c) Lebar jaring 13 m yang di ikat pada pralon besi sebagai penopang dalam kolom air.

4. Tahap-tahap Pengoperasian Alat Tangkap Bagan Congkel
1) Persiapan menuju fishing ground, pemeriksaan kapal dan persiapan terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pengoperasian bagan congkel. Pemeriksaan dan perbaikan terutama dilakukan terhadap lampu dan mesin kapal. Persiapan lain yang dianggap penting adalah kebutuhan pembekalan operasi penangkapan seperti air tawar, solar, minyak tanah, garam dan bahan makanan.
2) Pengumpulan ikan, ketika tiba di lokasi fishing ground dan hari menjelang malam, maka lampu dinyalakan dan jaring biasanya tidak langsung diturunkan hingga tiba saatnya ikan terlihat berkumpul di lokasi bagan atau ingin masuk ke dalam area cahaya lampu. Namun tidak menutup kemungkinan ada pula sebagian nelayan yang langsung menurunkan jaring setelah lampu dinyalakan.
3) Setting, setelah menunggu beberapa jam dan ikan mulai terlihat berkumpul di lokasi penangkapan, maka jaring diturunkan ke air. Jaring biasanya diturunkan secara perlahan-lahan dengan memutar roller. Penurunan jaring beserta tali penggantung dilakukan hingga jaring mencapai kedalaman yang diinginkan.

Gambar 4. Penurunan jaring
4) Perendaman jaring (soaking), selama jaring berada di dalam air, nelayan melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan di sekitar kapal untuk memperkirakan kapan jaring akan diangkat. Lama jaring berada di dalam perairan (perendaman jaring) bukan bersifat ketetapan, karena nelayan tidak pernah menentukan dan menghitung lamanya jaring di dalam perairan dan kapan jaring akan diangkat namun hanya berdasarkan penglihatan dan pengamatan adanya ikan yang berkumpul di bawah cahaya lampu.
5) Pengangkatan jaring (lifting), lifting dilakukan setelah kawanan ikan terlihat berkumpul di lokasi penangkapan. Kegiatan lifting ini diawali dengan pemadaman lampu secara bertahap. Hal ini dimaksudkan agar ikan tidak terkejut dan tetap terkosentrasi pada bagian kapal di sekitar lampu yang masih menyala. Ketika ikan sudah berkumpul di tengah-tengah jaring, jaring tersebut mulai ditarik ke permukaan hingga akhirnya ikan akan tertangkap oleh jaring.
Gambar 5. Proses mematikan lampu secara berlahan
6) Brailing, setelah bingkai jaring naik ke atas permukaan air, maka tali penggantung pada ujung dan bagian tengah rangka dilepas dan dibawa ke satu sisi kapal, tali kemudian dilewatkan pada bagian bawah kapal beserta jaringnya. Tali pemberat ditarik ke atas agar mempermudah penarikan jaring dan lampu dihidupkan lagi. Jaring kemudian ditarik sedikit demi sedikit dari salah satu sisi kapal ke atas kapal.

Gambar 6. Pengangkatan jaring
7) Penyortiran ikan, setelah diangkat di atas dek kapal, dilakukan penyortiran ikan. Penyortiran ini biasanya dilakukan berdasarkan jenis ikan tangkapan, ukuran dan lain-lain. Ikan yang telah disortir langsung dimasukkan ke dalam wadah atau peti/box sterofom untuk memudahkan pengangkutan.

Gambar 7. Proses penyortiran ikan
5. Hasil Tangkapan Bagan Congkel
Pada priode pertama jumlah keseluruhan ikan yang tertangkap adalah 38497 ekor. Sedangkan priode kedua dapat dilihat pada table 1.
Tabel 1. Jenis-jenis hasil tangkapan bagan congkel pada tanggal 10 Juli 2012.
No.
Nama Spesies Ikan
Hauling

Jumlah

Ke- 1
Ke- 2
Ke- 3
1
Cumi – cumi
87
69
214
370
(Loligo sp.)
2
Sotong
2
4
23
29
(Sepia sp.)

3

Tembang
2023
3045
965
6033
(Sardinella sp.)
4
Layur  
5
9
3
17
(Trichiurus sp.)
5
Tongkol
-
8
3
11
(Euthynnus sp.)
6
Kembung
-
82
24
106
(Rastrelliger sp.)
7
Teri
10272
11046
9047
30365
(Stolephorus sp.)
8
Kerapu lumpur
-
-
1
1
(Epinephelus coiodes hamilton)
9
Layang
-
24
1057
1081
(Decapterus sp.)
10
Barakuda
2
4
6
12
(Sphyraena barracuda)
11
Bete – bête
267
112
88
467
(Psettodes sp.)
12
Udang putih
-
-
5
5
(Penaeus sp.)
Total
12658
14403
11436
38497
Sumber : Data primer yang diolah, 2012
Keterangan : - (tidak tertangkap)
Pada priode kedua jumlah keseluruhan ikan yang tertangkap adalah  41794 ekor. Sedangkan priode ketiga dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Jenis-jenis hasil tangkapan bagan congkel pada tanggal 13 Juli 2012.
No.
Nama Spesies Ikan
Hauling
Jumlah
Ke- 1
Ke- 2
Ke- 3
1
Cumi – cumi
205
522
112
839
 (Loligo sp.)
2
Sotong
6
13
2
21
(Sepia sp.)
3
Tembang
314
549
156
1019
(Sardinella sp.)
4
Layur  
2
3
-
5
(Trichiurus sp.)
5
Tongkol
-
14
-
14
(Euthynnus sp.)
6
Kembung
-
247
47
294
 (Rastrelliger sp.)
7
Teri
11060
14874
4037
29971
(Stolephorus sp.)
8
Layang
-
4
9536
9540
(Decapterus sp.)
9
Barakuda
-
2
-
2
(Sphyraena barracuda)
10
Bete - bete  
43
11
35
89
( Psettodes sp.)
Total
11630
16239
13925
41794
Sumber : Data primer yang diolah, 2012
Keterangan : - (tidak tertangkap
Pada priode ketiga jumlah keseluruhan ikan yang tertangkap adalah  23530 ekor.
Tabel 3. Jenis-jenis hasil tangkapan bagan congkel pada tanggal 26 Juli 2012.
No.
Nama Spesies Ikan
Hauling

Jumlah

Ke- 1
Ke- 2
Ke- 3
1
Cumi – cumi
84
240
167
491
 (Loligo sp.)
2
Sotong
17
24
16
57
(Sepia sp.)
3
Tembang
423
745
265
1433
(Sardinella sp.)
4
Layur  
2
5
4
11
(Trichiurus sp.)
5
Tongkol
-
3
-
3
(Euthynnus sp.)
6
Kembung
-
12
42
54
 (Rastrelliger sp.)
7
Teri
10242
9046
2047
21335
(Stolephorus sp.)
8
Layang
-
67
31
98
(Decapterus sp.)
9
Barakuda
-
3
2
5
(Sphyraena barracuda)
10
Bete – bête
13
4
26
43
( Psettodes sp.)
Total
10781
10149
2600
23530
Sumber : Data primer yang diolah, 2012
Keterangan : - (tidak tertangkap)
Perbedaan hasil tangkapan dari ketiga kali pengamatan diduga disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor ikan itu sendiri. Faktor lingkungan berupa pengaruh musim angin timur yang menyebabkan gelombang tinggi selain itu dipengaruhi oleh bulan. Gelombang yang besar diduga berpengaruh negatif pada saat perendaman jaring, pengangkatan jaring dan intensitas cahaya yang masuk dalam perairan menjadi berkurang. Ditambahkan oleh Gunarso (1985), bahwa iklim dan cuaca akan mempengaruhi penyebaran ikan, sedangkan gelombang yang besar akan menyebabkan turbulensi, beberapa ikan akan menghindari daerah tersebut karena sedimen laut yang terangkat akan dapat masuk filament insang ikan. Bagi ikan keberadaan cahaya merupakan satu di antara indikasi adanya makanan (Zusser dalam Gunarso, 1985).
B. Pembahasan
Analisis perhitungan hasil tangkapan ikan bagan congkel dengan menggunakan indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) dapat dilihat pada lampiran 1.
1. Indeks Keanekaragaman (H’)
H’
=
- Σ ni/N ln ni/N
H’
=
- (-0,76274)
H’
=
0,76274
Pada pengamatan yang dilakukan oleh praktek kerja lapangan dengan menggunakan alat tangkap bagan congkel di perairan Samboja diperoleh indeks keseragaman sebesar 0,76274 dan mendekati 1 maka ekosistem tersebut mempunyai keanekaragaman dalam komonitas sedang.
2. Indeks Keseragaman (E)
E
=
H’ /ln S
ln S
=
ln jumlah taksa
ln S
=
ln 12
E
=
0,76274/2,4849
E
=
0,30695
Sedangkan pengamatan yang dilakukan oleh praktek kerja lapangan dengan menggunakan alat tangkap bagan congkel di perairan Samboja diperoleh indeks keseragaman sebesar 0,30695 dan mendekati 0 sehingga ekosistem tersebut mempunyai kecenderungan di dominasi oleh spesies tertentu.
Spesies ikan yang mendominasi yaitu ikan teri, diketahui bahwa ikan teri mempunyai sifat fototaksis positif yang sangat tinggi sehingga ikan ini paling banyak tertangkap oleh bagan congkel.
3. Indeks Dominansi (C)
C
=
Σ (ni/N)2
C
=
0,63648

Pada pengamatan yang dilakukan praktek kerja lapangan dengan menggunakan alat tangkap bagan congkel di perairan Samboja diperoleh indeks dominansi sebesar 0,63648. Maka kriteria nilai indeks dominasi mendekati 1, berarti ada spesies yang cenderung dominan yaitu ikan teri.
4. Kelimpahan Relatif Ikan
Tabel 4. Kelimpahan relatif ikan di perairan laut Samboja.
No.
Nama Spesies Ikan
Kelimpahan Relatif (%) 
Jumlah (ekor) 
1
Cumi – cumi
1.637
(Loligo sp.)
2
Sotong
0.103
(Sepia sp.)
3

Tembang

8.173


(Sardinella sp.)
 
4
Layur  
0.032
(Trichiurus sp.)
5
Tongkol
0.027
(Euthynnus sp.)
6
Kembung
0.437
(Rastrelliger sp.)
7
Teri
78.665
(Stolephorus sp.)
8
Kerapu lumpur
0.001
(Epinephelus coiodes hamilton)
9
Layang
10.325
(Decapterus sp.)
10
Barakuda
0.018
(Sphyraena barracuda)
11
Bete – bête
0.577
(Psettodes sp.)
12
Udang putih
(Penaeus sp.)
0.005
Sumber : Data primer yang diolah, 2012
Berdasarkan hasil analisis kelimpahan relatif diketahui bahwa kelimpahan relatif yang terbesar adalah dari jenis ikan teri yaitu sebesar 78.665, berarti bahwa jenis ikan teri dari tangkapan bagan congkel yang paling mendominasi.  Sedangkan ikan layang diperoleh sebesar 10.325 ekor, ikan tembang diperoleh sebesar 8.173.




Grafik 1. Kelimpahan relatif ikan di perairan Samboja

Dari grafik di atas, dapat dilihat perbedaan kelimpahan relatif ikan. Hasil tangkapan bagan congkel didominasi oleh ikan teri, yang disebabkan ikan teri bersifat fototaksis positif.
Selain ikan teri, ikan yang paling sering tertangkap pada alat tangkap bagan congkel yaitu  ikan layang, ikan tembang dan cumi-cumi. Sedangkan tangkapan utama dari alat tangkap bagan congkel adalah Ikan teri dan cumi-cumi. Ikan tersebut merupakan biota laut yang bersifat fototaksis positif. Ikan biasanya berkumpul dan menetap di sekeliling lampu selama waktu tertentu dan memencar kembali, ikan ini bergerak ke permukaan (ke arah lampu) secara perlahan-lahan berkumpul di sekitar lampu dalam waktu yang berbeda tergantung jenisnya (Laevastu dan Hela, 1970).
Ketertarikan terhadap cahaya bukan saja tergantung pada sifat fototaksis positif dari ikan tersebut, tetapi faktor ekologis juga berpengaruh terhadap makhluk-makhluk hidup lainnya. Mula-mula yang tertarik untuk mendekati sumber cahaya adalah jenis zooplankton, kemudian diikuti oleh jenis ikan-ikan kecil dan ikan-ikan besar. Mekanisme tertariknya ikan terhadap cahaya lampu belum diketahui dengan jelas, namun diduga berkumpulnya ikan disebabkan oleh keinginan mencari intensitas cahaya yang cocok.
Alat tangkap bagan congkel merupakan alat tangkap ikan yang tergantung pada keadaan lingkungan dan cahaya yaitu: musim angin timur, gelombang dan bulan. Apabila musim angin timur tiba puncaknya pada bulan Juli maka nelayan di Samboja rata-rata tidak mencari ikan kelaut karena musim angin timur yang menyebabkan gelombang besar.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pengamatan dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Tangkapan utama dari alat tangkap bagan congkel di daerah Samboja adalah Ikan teri dan cumi-cumi.
2. Hasil tangkapan pertama pada tanggal 10 Juli 2012 jumlah keseluruhanikan yang tertangkap berjumlah 38.497 ekor dari 12 spesies yang tertangkap, hasil tangkapan kedua pada tanggal 13 Juli 2013 berjumlah 41.794 ekor dari 10 spesies yang tertangkap dan hasil tangkapan ketiga pada tanggal 26 Juli 2013 berjumlah 23.530 ekor dari 10 spesies yang tertangkap.
3. Analisis perhitungan hasil tangkapan ikan bagan congkel yaitu, sebagai berikut :
1) Indeks keanekaragaman diperoleh  0,76274 dan mendekati 1 maka ekosistem perairan laut Samboja mempunyai keanekaragaman dalam komonitas sedang.
2) Indeks keseragaman diperoleh 0,30695 dan mendekati 0 sehingga ekosistem perairan laut Samboja mempunyai kecenderungan di dominasi oleh spesies tertentu.
3) diperoleh indeks dominansi diperoleh 0,63648. Maka kriteria nilai indeks dominasi mendekati 1, berarti ada spesies yang cenderung dominan yaitu ikan teri, karena ikan tersebut bersifat fototaksis positif.
4. Kelimpahan jumlah relatif ikan di perairan Samboja dengan menggunakan alat tangkap bagan congkel didominasi oleh ikan teri. Selain ikan teri, ikan yang paling sering tertangkap pada alat tangkap bagan congkel yaitu  ikan layang, ikan tembang dan cumi-cumi.
B. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan berkaitan dengan kegiatan praktek kerja lapangan ini sebagai berikut:
1. Sebaiknya praktik kerja lapangan tidak dilaksanakan pada bulan Juli karena pada bulan tersebut merupakan puncak dari musim angin timur, menyebabkan banyak nelayan tidak melaut sehingga data yang diperoleh kurang maksimal.
2. Adanya regulasi/aturan dari UPT. Dinas Kelautan dan Perikanan mengenai mata jaring yang digunakan oleh alat tangkap bagan congkel hendaknya berukuran 2 in, agar ikan yang berukuran kecil tidak tertangkap.

Sumber: Muzekki FPIK UNMUL 2013


Comments

Popular posts from this blog

Laporan PKL PROSES PRODUKSI PENGOLAHAN AMPLANG IKAN BELIDA (Notopterus chitala) DI TOKO TERMINAL AMPLANG HJ. ADAWIYAH SAMARINDA

PLANKTON NET