Laporan Mata Kuliah Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Laut

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Beras Basah adalah sebuah pulau kecil di perairan Bontang. Pulau ini terkesan ekslusif karena luasnya yang hanya kira-kira seluas lapangan bola. Pasir putih yang lembut menghiasi pantai Beras Basah. Untuk sampai ke Beras Basah, kita harus naik perahu atau speedboat dari Pelabuhan Tanjung Laut Indah Bontang Selatan. Di Pelabuhan Tanjung Laut ada nelayan setempat yang menyewakan perahu. Biaya sewa satu perahu pulang-pergi sekitar Rp 750.000. Satu perahu bisa bisa diisi 20 orang atau lebih. Tiga puluh menit adalah  lama perjalanan naik perahu dari Pelabuhan Tanjung Laut Indah menunju Beras Basah. Sepanjang perjalanan kita akan disuguhi panorama yang yang indah mulai dari perkampungan terapung nelayan, ABK yang mengecat kapal, orang berjualan, pangkalan kecil TNI, hutan mangrove, nelayan menjaring, bagan ikan, serta burung camar yang sedang mencari makan dan pastinya pemandangan laut biru luas yang memanjakan mata.
Kegiatan yang bisa dilakukan di Beras basah antara lain berenang, memancing, bakar-bakar ikan, sepak bola pantai (bukan main beratnya lari di pantai berpasir), snorkling dsb. Disarankan anda berangkat pagi hari, karena viewnya indah sekali kalau pagi. Di sekitar pantai anda masih bisa menemukan banyak bintang laut dan bulu babi. Pulau ini ramai saat hari Minggu dan hari libur. Anda juga disarankan membawa makanan sendiri, karena tidak ada penjual makan di Beras Basah. Menikmati keindahan pulau Beras Basah, angin semilir, udara sejuk, dengan Pasir Putihnya yang lembut serta langit biru-jingga yang indah tentunya akan menghilangkan kepenatan yang menumpuk setelah seminggu bekerja.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pulau-pulau Kecil

 PERATURAN 
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR PER.16/MEN/2008 
TENTANG 
PERENCANAAN PENGELOLAAN 
WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
 MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang : a. bahwa guna menjamin terselenggaranya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari yang berwawasan global serta bermanfaat bagi kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional, maka sebagai tindaklanjut Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dipandang perlu menetapkan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang;
b. bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu membentuk Undang- Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.20/MEN/2008
TENTANG
PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PERAIRAN DI SEKITARNYA
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna menjamin keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, maka sebagai tindaklanjut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dipandang perlu menetapkan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya
Pulau-pulau kecil meliputi 7% dari wilayah dunia, dan merupakan entitas daratan yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus sehingga pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah daratan lain, khususnya pulau besar (mainland). Menurut definisi yang dikeluarkan oleh PBB dalam UNCLOS, definisi pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang. Namun, definisi pulau kecil masih dalam pengembangan sampai saat ini.  Berikut ini adalah beberapa definisi pulau kecil yang dikeluarkan oleh beberapa instansi dan lembaga terkait: 
CSC (1984) : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 5.000 km2 
UNESCO : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 2.000 km2 
(1991) atau lebarnya kurang dari 10 km 
SK Menteri : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 10.000 km2, 
KP No. penduduk < 200.000 orang 
41/2000 
Usulan dari : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 2.000 km2, 
DKP dengan jumlah penduduk < 20.000 orang
Umumnya pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki karakteristik biogeofisik yang tersendiri sebagai berikut (Bengen 2004): 
terpisah dari habitat pulau induk (mainland island) dan bersifat insular 
memiliki sumberdaya air terbatas, baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan air yang relatif kecil atau sangat terbatas sehingga sebagian aliran air permukaan dan sedimen akan diteruskan ke laut 
rentan terhadap pengaruh dari luar, baik yang bersifat alami (badai dan gelombang besar) maupun akibat kegiatan manusia (pengubahsuaian lahan, pencemaran) 
memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi 
area perairan lebih luas daripada daratan, serta relatif terisolir 


2.2. Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh‐puluh jenis moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri, 2000).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.
Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster, tripang dan lain, maka aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin besar pula. Dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang juga akan semain meningkat. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya. Sehingga sudah waktunya kita mengambil tindakan yang cepat dan tepat guna mengurangi laju degradasi terumbu karang akibat eksploitasi oleh manusia.
2.3 Ekosistem Lamun
Padang lamun di Indonesia yang diperkirakan seluas sekitar 30.000 km2 mempunyai peran penting sebagai habitat ikan dan berbagai biota lainnya. Berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi penting menjadikan padang lamun sebagai tempat mencari makan, berlindung, bertelur, memijah dan sebagai daerah asuhan. Padang lamun juga berperan penting untuk menjaga kestabilan garis pantai. Dalam perkembangannya banyak daerah lamun yang telah mengalami gangguan atau kerusakan karena gangguan alam ataupun karena aktivitas manusia. Gangguan atau tekanan oleh aktivitas manusia yang berlangsung terus menerus menimbulkan dampak yang lebih besar. Akar masalah perusakan padang lamun antara lain karena ketidak-tahuan masyarakat, kemiskinan, keserakahan, lemahnya perundangan dan penegakan hukum. Oleh karena itu pengelolaan padang lamun harus mengatasi masalah mendasar itu dalam upaya rehabilitasi padang lamun. Rehabilitasi padang lamun dapat di lakukan dengan dua pendekatan yakni: rehabilitasi lunak dan rehabilitasi keras. Rehabilitasi lunak lebih ditekankan pada pengendalian perilaku manusia yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan, misalnya melalui kampanye penyadaran masyarakat (public awareness), pendidikan, pengembangan mata pencaharian alternatif, pengembangan Daerah Perlindungan Padang Lamun, pengembangan peraturan dan perundangan, dan penegakan hukum secara konsisten. Rehabilitasi keras mencakup kegiatan rehabilitasi langsung di lapangan seperti transplantasi lamun. 
Dibandingkan dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove, ekosistem lamun belum banyak mendapat perhatian.  Ini disebabkan karena ekosistem lamun selama ini sering disalah-pahami sebagai lingkungan yang tidak banyak memberi manfaat nyata bagi manusia.  Di Indonesia baru setelah tahun 2000-an perhatian pada lamun mulai berkembang seiring dengan mulai berkembangnya pengetahuan tentang peran lamun. 
Potensi lamun
Luas padang lamun di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 km2 yang dihuni  oleh 13 jenis lamun. Suatu padang lamun dapat terdiri dari vegetasi tunggal yakni tersusun dari satu jenis lamun saja ataupun vegetasi campuran yang terdiri dari berbagai jenis lamun. Di setiap padang lamun hidup berbagai biota lainnya yang berasosiasi dengan lamun, yang keseluruhannya terkait dalam satu rangkaian fungsi ekosistem.

Lamun juga penting bagi perikanan, karena banyak jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting, hidup di lingkungan lamun. Lamun dapat befungsi sebagai tempat ikan berlindung, memijah dan mengasuh anakannya, dan sebagai tempat mencari makan. Selain ikan, beberapa biota lainnya yang mempunyai nilai ekonomi juga dapat dijumpai hidup di padang lamun seperti teripang, keong lola (Trochus), udang dan berbagai jenis kerang-kerangan. Beberapa hewan laut yang sekarang makin terancam dan telah dilindungi seperti duyung (dugong) dan penyu (terutama penyu hijau) makanannya terutama teridiri dari lamun. Lamun juga mempunyai hubungan interkoneksi dengan mangrove dan terumbu karang sehingga diantara ketiganya dapat terjadi saling pertukaran energi dan materi.
Dilihat dari aspek pertahanan pantai,  padang lamun dengan akar-akarnya yang mencengkeram dasar laut dapat meredam gerusan gelombang laut hingga padang lamun dapat mengurangi dampak erosi. Padang lamun juga dapat menangkap sedimen hingga akan membantu menjaga kualitas air.
Gangguan dan ancaman terhadap lamun
Meskipun lamun kini diketahui mempunyai banyak manfaat, namun dalam kenyataannya lamun menghadapi berbagai ganggujan dan ancaman. Gangguan dan ancaman terhadap lamun pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan yakni gangguan alam dan gangguan dari kegiatan manusia (antropogenik).
1)Gangguan alam
Fenomena alam seperti tsunami, letusan gunung api, siklon, dapat menimbulkan kerusakan pantai, termasuk juga terhadap padang lamun. Tsunami yang dipicu oleh gempa bawah laut dapat menimbulkan gelombang dahsyat yang menghantam dan memorak-perandakan lingkungan pantai, seperti terjadi dalam tsunami Aceh (2004). Gempa bumi, seperti gempa bumi Nias (2005)  mengangkat sebagian dasar laut hingga terpapar ke atas permukaan dan menenggelamkan bagian lainnya lebih dalam. Debu letusan gunung api seperti letusan Gunung Tambora (1815) dan Krakatau (1883) menyelimuti perairan pantai sekitarnya dengan debu tebal, hingga melenyapkan padang lamun di sekitarnya.
Siklon tropis dapat menimbulkan banyak kerusakan pantai terutama di lintang 10 - 20o Lintang Utara maupun Selatan, seperti yang sering menerpa Filipina dan pantai utara Australia. Kerusakan padang lamun di pantai utara Australia karena diterjang siklon sering dilaporkan. Indonesia yang berlokasi tepat di sabuk  katulistiwa, bebas dari jalur siklon, tetapi dapat menerima imbas dari siklon daerah lain. Siklon Lena (1993) di Samudra Hindia misalnya, lintasannya mendekati Timor dan menimbulkan kerusakan besar pada lingkungan  pantai di Maumere.
Selain kerusakan fisik akibat aktivitas kebumian, kerusakan lamun karena aktivitas hayati dapat pula menimbulkan dampak negatif pada keberadaan lamun. Sekitar 10 – 15 % produksi lamun menjadi santapan hewan herbivor, yang kemudian masuk dalam jaringan makanan di laut.  Di Indonesia, penyu hijau, beberapa jenis ikan, dan bulubabi, mengkonsumsi daun lamun. Duyung tidak saja memakan bagian dedaunannya tetapi juga sampai ke akar dan rimpangnya.
2)Gangguan dari aktivitas manusia
Pada dasarnya ada empat jenis kerusakan lingkungan perairan pantai yang disebabkan oleh kegiatan manusia, yang bisa memberikan dampak pada lingkungan lamun:
a)Kerusakan fisik yang menyebabkan degradasi lingkungan, seperti penebangan mangrove, perusakan terumbu karang dan atau rusaknya habitat padang lamun;
b)Pencemaran laut, baik pencemaran asal darat, maupun dari kegiatan di laut;
c)Penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan;
d)Tangkap lebih, yakni eksploitasi sumberdaya secara berlebihan hingga meliwati kemampuan daya pulihnya
a.Kerusakan fisik 
Kerusakan fisik terhadap padang lamun telah dilaporkan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di Pulau Pari dan Teluk Banten, kerusakan padang lamun disebabkan oleh aktivitas perahu-perahu nelayan yang mengeruhkan perairan dan merusak padang lamun. Reklamasi dan pembangunan kawasan industri dan pelabuhan juga telah melenyapkan sejumlah besar daerah padang lamun seperti terjadi di Teluk Banten. Di Teluk Kuta (Lombok) penduduk membongkar karang-karang dari padang lamun untuk bahan konstruksi, atau untuk membuka usaha budidaya rumput laut. Demikian pula terjadi di Teluk Lampung. Di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resor pariwisata di pantai banyak yang tak mengindahkan garis sempadan pantai, pembangunan resor banyak mengorbankan padang lamun.
b.Pencemaran laut
Pencemaran laut dapat bersumber dari darat (land based) ataupun dari kegiatan di laut (sea based). Pencemaran asal darat dapat berupa limbah dari berbagai kegiatan manusia di darat seperti limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian, atau pengelolaan lahan yang tak memperhatikan kelestarian lingkungan seperti pembalakan hutan yang menimbulkan erosi dan mengangkut sedimen ke laut. Bahan pencemar asal darat dialirkan ke laut lewat sungai-sungai atau limpasan (runoff). 
Masukan hara (terutama fosfat dan  nitrat) ke perairan pantai dapat menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan berlebihan, yang mengakibatkan timbulnya ledakan populasi plankton (blooming) yang mengganggu pertumbuhan lamun. Epiffit yang hidup menempel di permukaan daun lamun juga dapat tumbuh kelewat subur dan menghambat pertumbuhan lamun. Kegiatan penambangan didarat, seperti tambang bauksit di Bintan, limbahnya terbawa ke pantai dan merusak padang lamun di depannya. 
Pencemaran dari kegiatan di laut dapat terjadinya misalnya pada tumpahan minyak di laut, baik dari kegiatan perkapalan dan pelabuhan, pemboran, debalasting muatan kapal tanker. Bencana yang amat besar terjadi saat kecelakaan tabrakan atau kandasnya kapal tanker yang menumpahkan muatan minyaknya ke perairan pantai, seperti kasus kandasnya supertanker Showa Maru yang merusak perairan pantai Kepuluan Riau. 

c.Penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan
Beberapa alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan dapat menimbulkan kerusakan pada padang lamun seperti pukat harimau yang mengeruk dasar laut. Penggunaan bom dan racun sianida juga ditengarai menimbulkan kerusakan padang lamun. Di Lombok Timur dilaporkan kegiatan perikanan dengan bom dan racun yang menyebabkan berkurangnya kerapatan dan luas tutupan lamun.
d. Tangkap lebih
Salah satu tekanan berat yang menimpa ekosistem padang lamun adalah tangkap lebih (over fishing), yakni eksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan hingga melampaui kemampuan ekosistem untuk segera memulihkan diri. Tangkap lebih bisa terjadi pada ikan maupun hewan lain yang berasosiasi dengan lamun. Banyak jenis ikan lamun yang kini  semakin sulit dicari, dan ukurannya pun semakin kecil. Demikian pula teripang pasir (Holothuria scabra), dan keong lola (Trochus)  yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sekarang sudah sangat sulit dijumpai dalam alam. Duyung yang hidupnya bergantung sepenuhnya pada lamun kini  telah menjadi hewan langka yang dilindungi, demikian pula dengan penyu, terutama penyu hijau.

BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum manajemen sunberdaya pesisir dan laut ini dilaksanakan di pulau Beras Basah pada hari sabtu, 24 desember 2011.
3.2. Alat dan Bahan
    - Camera digital
3.3. Prosedur Kerja
Melakukan pengamatan terhadap ekosistem pesisir yang ada di pulau beras basah, Melihat potensinsi pulau beras basah dan ekosistem yang ada disekitarnya melainkan pesisir, terumbu karang dan Lamun.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Pulau-pulau Kecil
(1) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
a. Konservasi;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. budidaya laut;
e. pariwisata;
f. usaha perikanan dan kelautan secara lestari;
g. pertanian organik; dan/atau
h. peternakan.
(2) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan antara lain untuk usaha pertambangan, permukiman, industri, perkebunan, transportasi, dan pelabuhan.
(3) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kecuali untuk konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, wajib:
a. sesuai dengan rencana zonasi;
b. memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
c. memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; dan
d. menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: 
a. merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan/atau komplemen dari sistem perencanaan pembangunan daerah; 
b. mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, antarsektor, antara pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dan antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen; 
c. dilakukan sesuai dengan kondisi biogeofisik dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, serta dinamika perkembangan sosial budaya daerah dan nasional.
d. melibatkan peran serta masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya. 
4.2. Ekosistem Terumbu karang
keindahan ekosistem terumbu karang dapat menjadi andalan dan modal bagi pembangunan Kabupaten beras Basah. Kemudian, untuk mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang secara optimal dan berkelanjutan ini, tentu diperlukan koordinasi terpadu dan kerja keras dari semua pihak. Salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan kawasan ekosistem terumbu karang adalah partisipasi aktif dan dukungann penuh dari masyarakat lokal yang sumber kehidupannya secara langsung bergantung pada hasil laut, serta bekerja sama dengan lembaga-lembagan pemerintah dalam suatu pengaturan yang disepakati bersama.
4.3. Ekosistem Lamun
Pengelolaan, Merujuk pada gangguan atau kerusakan padang lamun, maka perlulah diidentifikasi akar masalahnya.Pada dasarnya manusia tak dapat mengontrol dan mengelola fenomena alam seperti tsunami, gempa, siklon. Kita hanya bisa melakukan mitigasi atau penanggulangan akibat yang ditimbulkannya. Di samping itu alam juga mempunyai ketahanan (resilience) dan mekanismenya sendiri untuk memulihkan dirinya dari gangguan sampai batas tertentu. 
Dalam pengelolaan padang lamun, yang terpenting adalah mengenali terlebih dahulu akar masalah rusaknya padang lamun yang pada dasarnya bersumber pada perilaku manusia yang merusaknya. Berdasar  acuan tersebut maka akar masalah terjadinya kerusakan padang lamun dapat dikenali sebagai berikut: 
1Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang lamun dan perannya dalam lingkungan.
2Kemiskinan masyarakat
3Keserakahan mengeksploitasi sumberdaya laut;
4Kebijakan pengelolaan yang tak jelas;
5Kelemahan perundangan
6Penegakan hukum yang lemah

Rehabilitasi padang lamun
Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguan utama dari aktivitas manusia maka untuk rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan: yakni: 1) rehabilitasi lunak (soft rehabilitation) , dan 2) rehabilitasi keras (hard rehabilitation).
Rehabilitasi lunak berkenan dengan penanggulangan akar masalah,  dengan asumsi jika akar masalah dapat diatasi, maka alam akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi dirinya sendiri secara alami. Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian perilaku manusia.
Rehabilitasi  lunak bisa mencakup hal-hal sebagai berikut:
a)Kebijakan dan strategi pengelolaan. Dalam pengelolaan lingkungan diperlukan kebijakan dan strategi yang jelas untuk menjadi acuan pelaksanaan oleh para pemangku kepentingan (stake holders).
b)Penyadaran masyarakat (Public awareness).  Penyadaran masyarakat dapat dilaksanakan dengan berbagai pendekatan seperti:
Kampanye penyadaran lewat media elektronik (televisi, radio), ataupun lewat media cetak (koran, majalah, dll)
Penyebaran berbagai materi kampanye seperti: poster, sticker, flyer, booklet, dan lain-lain
Pengikut-sertaan tokoh masyarakat (seperti pejabat pemerintah, tokoh agama, tokoh wanita, seniman, dll)  dalam penyebar-luasan bahan penyadaran. 
c)Pendidikan.  Pendidikan mengenai lingkungan termasuk pentingnya melestarikan lingkungan padang lamun. Pendidikan dapat disampaikan lewat jalur pendidikan formal dan non-formal
d)Pengembangan riset. Riset diperlukan untuk mendapatkan informasi yang akurat untuk mendasari pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan.
e)Mata pencaharian alternatif.  Perlu dikembangkan berbagai kegiatan untuk mengembangkan mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Masyarakat yang lebih sejahtera lebih mudah diajak untuk menghargai dan melindungi lingkungan.
f)Pengikut sertaan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan lingkungan dapat memberi motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin keberlanjutannya. Kegiatan bersih pantai dan pengelolaan sampah misalnya merupakan bagian dari kegiatan ini.
g)Pengembangan Daerah Pelindungan Padang Lamun (segrass sanctuary) berbasis masyarakat. Daerah Perlindungan Padang Lamun (DPPL) merupakan bank sumberdaya yang dapat lebih menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. DPPL berbasis masyrakat lebih menjamin keamanan dan keberlanjutan DPPL.
h)Peraturan perundangan. Pengembangan pengaturan perundangan perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan kepentingan masyarakat luas.  Keberadaan hukum adat, serta kebiasaan masyarakat lokal perlu dihargai dan dikembangkan.
i)Penegakan hukum secara konsisten.   Segala peraturan perundangan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat ditegakkan secara konsisten. Lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum perlu diperkuat, termasuk lembaga-lembaga adat.


BAB V
PENUTUP
5.1.Kesimpulan
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan untuk
a. menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
b. melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;
c. melindungi habitat biota laut; dan
d. melindungi situs budaya tradisional.
Kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem diselenggarakan untuk melindungi:
a. sumber daya ikan;
b. tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain;
c. wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu; dan
d. ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan.

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ditujukan untuk memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era otonomi ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus dapat diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah seperti soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang pesisir, serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Meski hal tersebut menjadi bagian dari kewenangan pemerintah, namuntidak berarti masyarakat tidak memiliki kontribusi dan partisipasi dalam setiap formulasi kebijakan. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi masyarakat maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.

5.2 Saran
Dengan karakteristik wilayah pesisir seperti di atas, maka pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal dan berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan dengan cara pengelolaan terpadu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta pendapatan pembangunan secara hati-hati.


DAFTAR PUSTAKA


file:///C:/Documents%20and%20Settings/user/My%20Documents/berasssss%20basahhhhhhh.htm
http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefoxa&hs=FrI&rls=org.mozilla%3Aid%3Aofficial&channel=s&q=line+intercept+transect&aq=f&aqi=g1&aql=&oq=&gs_rfai=
Pasted from <http://sastrakelabu.wordpress.com/2010/04/15/wilayah-pesisir-coastal-zone/>
Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan

Latama, Gunarto, dkk., 2002, Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat,http://rudyct.tripod. com/sem1_023/group2_123.htm.

Supriharyono, 2000, Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang,

Wahyono, A., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, MediaPressindo

LAMPIRAN
Pulau Beras Basah

Ekosistem terumbu Karang

Ekosistem Lamun

Comments

Popular posts from this blog

Laporan PKL PROSES PRODUKSI PENGOLAHAN AMPLANG IKAN BELIDA (Notopterus chitala) DI TOKO TERMINAL AMPLANG HJ. ADAWIYAH SAMARINDA

PLANKTON NET

Laporan PKL Alat Tangkap Bagan Congkel