EVALUASI KONSTRUKSI DAN HIDRODINAMIKA SISTEM AKUAKULTUR MULTITROFIK TERPADU

EVALUASI  KONSTRUKSI DAN HIDRODINAMIKA SISTEM AKUAKULTUR MULTITROFIK TERPADU

Fish reproduction of snakeskin gourami
(Trichogaster pectoralis) in Benanga Reservoir, Samarinda, East Kalimantan Province

DEDI, SUMOHARJO dan MOH. MA’RUF
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNMUL; Budidaya Perairan
Alamat : Jl. Gunung Tabur, Kampus Gn. Kelua Samarinda 75119 Kaltim.


ABSRACK

Designing and selecting of aquaculture construction systems is crucial because of the initial step in building an effective and efficient of aquaculture systems. The main object of this research was to design and to build fish-tank models and bioreactor as the basic components for an integrated multi-trophic aquaculture system. This study used ex post facto method with descriptively analyzed on documentation process of whole works in the field, i.e; evaluation on fish tank and bioreactor design an its components configuration, water proof coating materials, hydrodynamics and self-discharge efficiency of suspended solid waste. According to designing process gained four tank models, were; Slope Tank-Center Drain (STCD), Slope Tank-Edge Drain (STED), Flat Tank-Center Drain (FTCD), and Flat Tank- Edge Drain (FTED) Multichamber. For the coating materials, a mixture of resin, catalyst and talk within ratio of 100 : 1 : 50, respectively had the strongest adhesive, low shear power, and no capillary movement of water. STCD tank had the highest efficiency in TSS self-drainage of 91.43% in one exchange rate with 5 liter per minute of water flow. On the other hand, the result of bioreactor estimation model showed that its efficiency up to 98% of TAN in 0.47 hours of hydraulic retention time.

PENDAHULUAN

Perkembangan industri akuakultur dewasa ini semakin mengarah pada kegiatan budidaya yang lebih intensif dengan pemeliharaan ikan pada kepadatan tinggi. Akan tetapi, produk limbah akuakultur yang dihasilkan pun kemudian menjadi faktor pembatas terhadap daya dukung unit budidaya yang dioperasikan. Menurut Colt (1991) bahwa ikan dapat menghasilkan feses hingga 50 % dari jumlah pakan yang dimakan. Limbah tersebut harus dikeluarkan dari sistem secepat mungkin agar tidak terakumulasi dan menjadi toksin bagi organisme budidaya itu sendiri. Oleh karena itu, pemeliharaan volume air di unit budidaya dan lingkungannya dengan pembuangan limbah terlarut maupun tersuspensi adalah langkah yang kondusif untuk produksi ikan (Miller dan Semmens 2002; Summerfelt dan Penne 2005).
Pembuangan limbah akuakultur secara langsung akan mengakibatkan pencemaran (eutrofikasi) dan juga merupakan tindakan inefisiensi sumberdaya air, untuk itu sistem resirkulasi diterapkan dalam unit budidaya untuk menjaga kualitas air sekaligus menghemat air. Perkembangan sistem akuakultur resirkulasi juga berkembang dengan cepat, berbagai teknologi filtrasi diterapkan di dalamnya termasuk berbagai jenis biofilter. Salah satu sistem akuakultur yang saat ini mulai mendapat banyak perhatian adalah sistem akuakultur multitrofik terpadu (AMT) yang mengkombinasikan berbagai organisme biofilter dalam satu kesatuan prinsip rantai makanan guna memaksimalkan penyerapan limbah dari suatu sistem akuakultur resikulasi. Namun demikian, pada sistem resirkulasi juga tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, jika limbah dari unit pemeliharaan (bak) ikan tidak dapat dikeluarkan secara maksimal. Menurut Tvinnereim (1989); Cripps dan Poxton (1992); Timmons et al., (1998) bahwa bak ikan yang baik harus dapat memberikan kondisi yang seragam, mengeliminasi limbah biosolid dengan cepat (sisa pakan dan fases), dan distribusi ikan yang seragam pada keseluruhan bak. Untuk membuat sistem produksi akuakultur resirkulasi yang efektif dan efisien, haruslah dimulai dari desain atau rancangbangun wadah pemeliharaan (bak ikan). Desain bak juga mempengaruhi pertumbuhan ikan karena menyebabkan perubahan tingkah laku dan laju metabolisme. Namun demikian, tidak ada pengaruhnya terhadap efisiensi pengeluaran limbah dari sistem, sehingga harus dimodifikasi dengan proses pergantian air secara berkala. Berdasarkan atas permasalahan tersebut, maka modifikasi desain bak ikan masih perlu dilakukan untuk memaksimalkan pengeluaran limbah tanpa harus melakukan pergantian air melalui rekayasa tekanan air pada alas bak  agar feses ikan dapat dikeluarkan secara maksimal serta meminimalkan efek resuspensi limbah tersebut sebelum masuk ke dalam sistem filtrasi tanpa mengesampingkan ketahanan material konstruksi yang digunakan dalam pembuatannya.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
           Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2012 di Fish House dan Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman.

Prosedur Penelitian
1.  Perancangan Bak Ikan dan Wadah Biofilter
Untuk perancangan alas bak yang optimum dalam mengeluarkan limbah padat (solidwaste self-discharge) secara grafitasi dilakukan terlebih dahulu dengan membuat pola desainnya berupa sketsa menggunakan perangkat lunak Sketchup Pro. 8. Secara geometri, bak berbentuk kotak dengan ukuran bidang yang sama (panjang x lebar x tinggi), yakni : 200 x 100 x 80 cm, perbedaannya hanya terletak pada desain alasnya. Terdapat empat desain alas dengan letak outlet berbeda yang akan dibuat. Untuk perancangan wadah biofilter juga dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Sketchup Pro. 8, yang mana  dimensinya berdasarkan model estimasi dengan tahapan perhitungan menggunakan lembar kerja Microsoft Excell sebagaimana tabel berikut.  
Tabel 1. Langkah-langkah perhitungan dimensi wadah biofilter
No.
Komponen
Simbol
Nilai
Satuan
Formula
1
Voleme air
Va

Liter
P x L x T
2
Standar biomassa akhir
Bt

kg

3
Bobot akhir yang diinginkan
Wt

kg/ekor

4
Jumlah ikan akhir/kg
Nt

ekor/kg
1/Wt
5
Jumlah ikan /m3
Ntotal

ekor
Nt * Sdt
6
Misalnya bobot ikan awal
Wo

kg/ekor
atau 25 gr/ekor
7
Maka biomassa awal
Bo

kg
Ntotal * Wo
8
Pemberian pakan
FR

%/Bt/hari
Standar optimum
9
Rasio konversi pakan
FCR


Hasil penelitian
10
Pertumbuhan biomassa
∆B

kg
Bt – Bo
11
Pertumbuhan harian
α

%/hari
FCR/FR
12
Lama waktu pemeliharaan
t

hari
(In(Bt)-In(Bo))/α
13
Jumlah pakan selama pemeliharaan
F

kg
FCR * ∆B
14
Konsumsi pakan per hari
Fd

g/hari
F/t
15
Standar rasio feeding rete
FRR

g/m2/hari
Rokocy (2006)
16
Luas bioreaktor yang diperlukan
AF

m2
Fd/FRR
17
Lebar filter
Lf

m
Pabrik
18
Panjang filter kosong (tampa media)
Pfk

m
Af/Lf
19
Efisiensi Nitrifikasi pasif
NP

%
Drenan II (2006)
20
Panjang filter menjadi
Pf1

m
Pfk - (Pfk * NP)
21
Efisiensi kerikil/bionet/tanaman
Emf


Losordo & Hobs (2000)
22
Sisa panjang filter yang dipakai
Pf2

m
Pf1 - (Pf1 * Emf)
23
Efisiensi solid basin
Esb

%
Rokocy (1998)
24
Sisa panjang filter yang dipakai
Pf3

m
Pf2 - (Pf2 * Esb)
25
Jika panjang filter tersedia
Pft

m
Pabrik
26
Maka jumlah talang utk filter


Batang
Pf++/Pft



2.   Pembuatan Bak dan Wadah Biofilter
Percobaan pembuatan konstruksi bak yang efektif dan efesien yang akan digunakan dalam sistem akuakultur multitrofik terpadu dilakukan dengan metode Ex post facto (riset tindakan), material dasar pertama yang digunakan untuk dinding bak adalah papan kayu meranti dengan ketebalan 2,5 cm sedangkan rangka kayu juga dari jenis kayu meranti berukuran 5 cm x 7 cm sedangkan pada pembangunan berikutnya adalah menggunakan dinding dari polyplex lumber core dengan ketebalan 9 mm, evaluasi kemudian dilakukan secara deskriptif terkait dengan efisiensi biaya maupun kemudahan dan waktu pembuatannya. Untuk bahan wadah biofilter terbuat dari talang air plastik sedangkan tatakannya dibuat dari kayu reng dengan ukuran 5 cm x 7 cm.
3.   Pengujian Bahan Pelapis Tahan Air.
Percobaan ini dilakukan juga secara Ex post facto (riset tindakan) dengan perlakuan menggunakan campuran bahan-bahan yang sudah umum digunakan untuk pelapis tahan air (waterproof). Bahan yang digunakan dibagi dalam 2 kategori, yakni :
1. Campuran bahan dengan pelarut air, yaitu :
a. Campuran antara lem PVAc, semen putih, talk, serbuk gergaji dengan perbandingan berturut-turut 1:1:1:1.
b. Campuran antara lem PVAc, semen putih, talk, dan kapur tohor dengan perbandingan berturut-turut 1:1:1:4.
2. Campuran dengan pelarut minyak, yaitu :
a. Campuran antara resin, pengeras (hardener), dan talk dengan perbandingan berturut-turut adalah 1:1:1.
b. Campuran antara bubuk damar, minyak tanah, dan serbuk gergaji dengan perbandingan 1:1:0,5.
c. Campuran antara resin dan katalis dengan perbandingan 1:100 yang dioleskan di atas fiber mat untuk lapisan pertama sedangkan lapisan kedua dicampur dengan talk dengan perbandingan 1:100:50.
Evaluasi daya tahan pelapis terhadap air (kapilaritas), dan panas matahari (pemuaian) dengan cara memasukkan air setinggi 50 cm (tekanan 0,12 kg/cm2) selama 2 hari, kemudian diperiksa konsistensinya (daya tahan terhadap air), selanjutnya air dikeringkan lalu dilap dengan kain kering baru dijemur diterik matahari pada cuaca cerah untuk mengetahui daya tahannya terhadap panas. Karakteristik kualitatif dari bahan pelapis yang dievaluasi, yakni ; basah (berarti tembus air), kering (tidak tembus air), lembek (tidak tahan panas), keras (tahan panas). Setelah pengujian ini selesai baru dilakukan evaluasi hidrodinamika dan efisiensi TSS discharge  selama satu kali sirkulasi.

Pengumpulan Data dan Analisis
1. Pengukuran Dimensi Bak  dan Wadah Biofilter (Spellman, 2003)
· Dimensi Bak :  V= L x W x H
· Dimensi filter : V= L x W x H
Keterangan :  V= Voleme Air (m3); L = Panjang Bak (m); W = Lebar Bak (m);
H = Tinggi Muka Air (m)

· Total Luas Area sistem (A) 
A = L x W
Keterangan : A = Area (m2); L = Panjang (m); W = Lebar
2.    Karakteristik Hidrodinamika Sistem
Analisis hidrodinamika sistem dilakukan secara deskriptif berdasarkan atas pergerakan sirkulasi air dalam unit akuakultur yang dibangun, parameter yang diukur menekankan pada geometri sistem akuakutur (bak ikan dan semua komponennya), aliran dan tekanan air. Persamaan-persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Tekanan air
Tekanan air pada kemiringan alas bak dibuat dengan sudut 10% dan tekanan persialnya dihitung dengan kenaikan 1 cm vertikal sampai pada dasar bak terdalam dengan setiap 10 cm arah horizontal dari ujung bak. Nilai tekanan parsial tersebut dihitung dengan persamaan berikut (Spellman, 2003).
P = 0,002305 x H
Ketearangan : P = Tekanan air (kg/cm2); H = Tinggi muka air (cm); 0,002305 = Konstanta (tekanan air setiap kenaikan 1 cm)
b. Debit air (Q)

Keterangan : Q = debit air (l/menit); V = Volume air (liter); T = Waktu (menit)
c. Tinggi Pipa Piezometer (Hp)
Pipa piezometer merupakan pipa outlet yang mengendalikan debit air sesuai yang dibutuhkan, laju aliran air yang akan keluar merupakan beda antara tinggi pipa piezometer dengan level muka air bak (heat loss) (Spellman, 2003). Penentuan tinggi pipa piezometer dilakukan melalui pengujian atas 4 ukuran tinggi yang berbeda, yakni 40 cm, 45 cm, 50 cm, dan 55 cm. Nilai debit air dari masing-masing tinggi pipa dikorelasikan melalui analisis secara regresi linear sederhana Y = a + bX.
d. Efesiensi bak (Eb), merupakan efesiensi drainase limbah padat (total solid) (Data and Allen, 2005)

Keterangan : Eb = Efesiensi Drainase Total Solit (); TSin= TSS bak; TSout= TSS setelah filter
e. Waktu Retensi Hidrolis (HRT) filter (Spellman, 2003)

Keterangan : HRT = Hidraulic Retention Time (menit); Vfilter = Volume filter; Q = Debit air   inlet di filter
f. Model estimasi waktu tinggal dan efisiensi filter dalam penyisihan limbah amonia pada suhu tertentu menggunakan persamaan Wheaton, (1977) :

Keterangan : E = Efisiensi filter (%); tm = Waktu retensi media (jam); T = Suhu (C°)
3.   Analisis Data
Berdasarkan atas hasil pengukuran semua dimensi sistem dan dokumentasi proses kegiatan penelitian, maka dilakukan analisis secara deskriptif terhadap karakteristrik desain konstruksi dan hidrodinamika bak ikan maupun wadah biofilter. Untuk penentuan korelasi antara tinggi pipa piezometri dan debit air menggunakan analisis regresi linear sederhana yang diolah dengan perangkat lunak SPSS versi 16.

Desain dan Konstruksi Sistem AMT
1. Desain dan Konstruksi Bak
Sebelum membangun konstruksi riil dari empat jenis bak yang akan diuji efisiennya dalam mengeluarkan limbah metabolit ikan secara grafitasi, maka terlebih dahulu dilakukan perancangan dengan menekankan pada perbedaan alas bak dan konfigurasi outletnya, setiap bak diberi nama sesuai dengan karakteristiknya. Untuk desain bak FTCD dan FTED multichamber sama-sama memiliki bentuk alas yang datar (elevasi = 0) perbedaannya hanya terletak pada posisi outletnya, di mana bak FTCD outletnya berada di tengah bak pada salah satu sisinya sedangkan bak FTED multichamber outletnya berada di ujung bak, di mana air beserta limbah metabolit ikan akan bergerak ke ruang filtrasi yang menyatu dengan badan bak, oleh karena itu disebut multichamber atau multi ruang.  Perbedaan outlet bak FTED multichamber dengan ketiga bak lainnya ada pada diameter lubang drainasenya tersebut, di mana diameter bak STCD, STED, dan FTCD sebesar ¾ inchi sedangkan FTED multichamber outletnya sepanjang lebar bak (100 cm) dengan tinggi 2 cm yang mana saluran ini terbentuk melalui penambahan sekat guna meningkatkan percepatan gerakan air. Dari keempat desain bak tersebut, bermaksud untuk menghasilkan pola arah aliran air yang berbeda. Menurut Ross, et al (1998) bahwa pada bak STED dan FTED multichamber akan dihasilkan arah aliran air tangensial dan disebut sebagai bak tipe plug-flow sedangkan pada bak STCD dan FTCD akan menghasilkan pola aliran air melintang sehingga dikenal sebagai tipe bak cross-flow. Untuk derajat kemiringan alas bak sebenarnya sudah melebihi nilai 2 % - 5% yang ditetapkan (FAO, 2003) terkait dengan biaya konstruksi unit akuakultur pada suatu topografi lahan, namun untuk tujuan drainase, semakin curam, dianggap semakin baik proses pembuangan limbahnya.
Berdasarkan pada sketsa yang telah dibuat dengan pertimbangan-pertimbangan atas peubah pola aliran air dan konfigurasi outlet, maka dilakukan pembangunan konstruksi riil dari keempat bak tersebut. Secara geometri semua bak berbentuk kotak (rectangular) dengan ukuran dimensi yang sama, yakni; 200 cm x 100 cm x 80cm (P x L x T). Hasil pembangunan keempat tipe bak tersebut ditunjukkan oleh gambar 5 berikut.
 
 
1. Slope Tank-Centre Drain (STCD)
2. Slope Tank-Edge Drain (STED)
 
 
3. Flat Tank-Centre Drain (STCD)
 4. Flat Tank-Edge Drain (FTED)                       Multichamber

Gambar 1. Hasil pembangunan konstruksi bak dengan desain alas yang berbeda

2.  Evaluasi Teknik dan Material Konstruksi Bak
a.   Material Rangka dan Dinding Bak
Bak yang digunakan berbentuk bujur sangkar (rectangular) dengan kayu sebagai material dasar. Pemilihan kayu sebagai material untuk konstruksi bak ini tentu saja dapat dilihat dari sudut pandang efisiensi secara ekonomi (murah), tersedia secara lokal, mudah dalam pembangunan dan operasionalnya, serta dapat dipindah-pindahkan (portable) dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya. Namun demikian perlu kehati-hatian dan perhitungan yang tepat dalam melakukan pengukuran volume konstruksi bak yang akan dibangun, agar tidak banyak sisa kayu yang terbuang, karena umumnya kayu yang dijual sudah memiliki grade tertentu.
Hal utama yang penting diperhatikan dalam membuat rangka kayu adalah sambungan tiga dimensinya yang harus memiliki sudut yang tepat pada bagian kaki bak. Sambungan tiga dimensi pada rangka yang kokoh sangat menentukan kekuatan bak terhadap tekanan air. Pada bagian kaki sebaiknya menggunakan dua batang kayu (model kali 2 tiang) yang dipasang membentuk sudut 90º, meskipun nampak boros kayu, tapi pada sisi lain akan menghemat sandaran dinding bak. Atau bisa juga dengan mengetam setengah dari ukuran batang kayu agar membentuk sudut 90º. Teknik untuk model kaki 1 tiang lebih efisien, namun kaki rangka menjadi kurang kokoh sehingga diperlukan penyangga 2 batang kayu lagi untuk 2 bidang kecil yang berhadapan, selain itu akan muncul kesulitan pada posisi kayu untuk rangka horizontal jika tiang maupun rangka horizontal memiliki ukuran sama (misalnya 4 x 6 cm).
Berdasarkan pada hasil evaluasi kebutuhan material kayu serta diketahuinya keunggulan dan teknik penggunaan bahan pelapis fiberglass, maka pada pembangunan ke-3 bak tipe lainnya dicoba menggunakan material dinding dangan plywood 9 mm, kemudian dilapis dengan fiberglass, yang mana hasilnya dapat menurunkan ongkos kontruksi bak hingga 20%.
b.   Evaluasi Deskriptif  Bahan Pelapis Tahan Air
Pada percobaan yang dilakukan terhadap bahan pelapis tahan air (water proof)  produk komersial, diketahui bahwa bahan-bahan pelapis dengan pelarut air (lem PVAc, semen putih, dan kapur tohor) tidak tahan air (hodrofilik), daya gesernya rendah, sehingga ketika terjadi perenggangan karena tekanan air dengan jarak geser 3 mm, bahan-bahan pelapis tersebut mengalami kapilaritas dan terjadi kebocoran pada bagian dasar meskipun baru di isi air setinggi 10 cm.
Bahan pelapis dengan pelarut minyak seperti damar dan resin sangat konsisten dan memiliki daya rekat yang kuat sehingga meskipun dinding bak merenggang, tidak terjadi kapilaritas air. Selain itu, karena sifatnya yang tidak larut dalam air (hidrofobik), pelapis resin tidak mengalami pelapukan sedangkan damar bisa lapuk dalam jangka 1 bulan. Namun demikian, pada area yang dilapisi resin tanpa mat fiberglass mudah terkelupas jika pengeringannya dibawah sinar matahari langsung atau  jika  diberi terlalu banyak katalis (rasio > 1 : 100). Pada lapisan pertama, campuran resin+katalis+talk langsung dibubuhkan di atas mat fiber yang dipotong dengan lebar 10 cm dan ditempelkan di atas sela-sela papan, setidaknya terdapat 13 sambungan keliling dan alas yang harus ditutup. Hal ini memerlukan 3 x 1 m mat fiberglass dan 5 kg resin + 50 ml katalis.
 Untuk bagian atau bidang luar bak agar lebih efisien tidak dilapis dengan fiberglass, tetapi cukup menggunakan plamir dengan campuran antara lem PVAc : semen putih : talk : kapur dengan perbandingan berturut-turut 1 : 1 : 1 : 4. Campuran formula ini terbukti cukup kuat mencegah kerusakan dinding bak, asalkan tidak mengalami perendaman (hanya terpapar percikan air hujan) tidak akan meluruhkan lapisan ini.
c.   Desain dan Konstruksi Wadah biofilter
Pada pembuatan desain wadah biofilter sangat menekankan pada hasil perhitungan untuk menduga kebutuhan material (talang air PVC) yang akan digunakan, pertimbangannya meliputi empat variable utama, yakni volume air, kepadatan ikan, jumlah pakan, efisiensi biofiltrasi, dan ukuran talang air yang ada dipasaran. Dari hasil perhitungan, diperoleh 4 batang talang air yang digunakan untuk wadah filter. Ukuran panjang talang air komersial adalah 4 meter, maka untuk membuat wadah filter dengan ukuran 2 meter setiap jalurnya dapat diperoleh 8 jalur wadah biofilter dari 4 batang talang. Sketsa desain dan konstruksi riil dari wadah biofilter tersebut sebagaimana ditampilkan pada gambar 6 dan 7 berikut.
 







Gambar 3. Sketsa desain wadah biofilter              Gambar 4. Konstruksi riil dari wadah biofilter


Performa Hidrodinamika Bak dan Wadah Biofilter
1.   Debit Air dan Sistem Perpipaan
Diameter lubang outlet dan pipa yang mengalirkan air keluar bak adalah ¾ inci, air mengalir secara grafitasi, laju alirannya dikendalikan oleh pipa piezometer. Debit air yang keluar bak dipengaruhi selisih tinggi muka air di bak dengan tinggi pipa piezometer (headloss). Pada percobaan yang dilakukan dengan 4 ukuran tinggi pipa yang berbeda sedangkan tinggi muka air bak dibuat konstan 62,5 cm (variabel tetap).
 










Gambar 5. Hubungan tinggi pipa piezometer dengan debit air

Hasil analisis dimodelkan dalam persamaan regresi, yaitu : Y = 62,22 + (- 1,44X). Di mana menunjukkan bahwa jika tidak ada penambahan ketinggian pipa, maka debit air 62,22 liter/menit, jika terjadi penambahan ketinggian pipa setiap 1 cm, maka debit air akan berkurang sebesar 1,44 liter/menit. Berdasarkan hasil tersebut, maka untuk dapat menghasilkan debit air 5 liter/menit maka tinggi pipa yang diperlukan adalah 55 cm dengan tinggi muka air dalam bak 62,5cm, diameter pipa ¾ inci, head loss 7,5 cm (= 62,5-55 cm).
1.   Uji Efisiensi Biosolid (TSS) self-discharge
Pengujian efisiensi pembersihan sendiri (self-cleaning) total solid tersuspensi (TSS) terhadap keempat tipe bak tersebut dilakukan dengan menebar ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan ukuran rata-rata 35 gram sebanyak 50 ekor. Ikan diberi pakan secara adlibitum selama 2 hari (total pakan 400 g). Berdasarkan pendapat Colt (1991) bahwa 50 % dari pakan dikeluarkan dalam bentuk feses, maka input TSS di dalam bak ikan diperkirakan sebesar 200 g. Pengujian TSS self-cleaning discharge dilakukan dengan metode trace element, dimana ikan yang sudah diberi pakan selama 2 hari, di dalam baknya dilakukan pengukuran TSS awal, kemudian dilakukan sirkulasi air melalui filter fisik selama 1 kali sirkulasi dengan debit 5 l/menit, perlakuan ini sama untuk setiap bak. Dari pengujian keempat tipe konfigurasai alas bak tersebut yang optimum mengeluarkan limbah padat (TSS) secara grafitasi, yaitu; desain alas bak Slope Tank-Centre Drain (STCD) dan Flat Tank-Edge Drain (FTED) Multichamber. Hasil pengujian tingkat efisiensi pengeluaran TSS untuk keempat tipe bak yang diujikan ditampilkan pada grafik berikut ini :
 

Gambar 6. Efisiensi TSS (Total Suspended Solid) Discharg

Perbedaan yang signifikan terhadap efisiensi pembuangan limbah dari outlet setiap jenis bak tentu saja dipengaruhi oleh konfigurasi desain alas bak yang dibuat, pada sistem STCD bisa mencapai efisiensi 91,43%  dalam satu kali sirkulasi. Efisiensi ini diperoleh karena alas bak yang dibuat miring 5° (kiri dan kanan) dengan jarak tempuh ke- outlet 100 cm akan lebih memudahkan pengeluaran limbah padat (solid waste) sehingga tidak menumpuk di dasar bak. Pada bak sistem STCD ini berukuran 200 cm x 100 cm x 80 cm, jarak setiap sisi alas bak ke titik tengah 80 cm sedangkan lebar bidang tengah bak 20 cm dengan tinggi muka air pada volume efektif adalah 62,5 cm. Maka, terdapat 8 tekanan parsial berbeda yang bekerja pada alas bak selama operasional produksi, tekanan akan naik pada setiap kenaikan 1 cm vertikal untuk setiap jarak 10 cm ketengah bak. Tekanan tertinggi terjadi pada bagian tengah bak, yakni sebesar 625,73 kg/m2, dan terendah ada pada tepi kiri dan kanan bak yakni 464,03 kg/m2. Karena tekanan di tengah bak lebih besar daripada di sudut bak, maka akan membuat partikel padat selalu jatuh ke tengah bak saat terjadi pergerakan partikel seperti feses atau sisa pakan.
Desain bak yang diaplikasikan pada sistem akuakultur tentu saja haruslah merupakan hasil desain terbaik pada sisi efektifitas dan efisiensi drainasenya. Faktor utama yang mempengaruhi hal tersebut adalah desain alas bak yang menghasilkan perbedaan tekanan persial dan pola hidrodinamika bak (pencampuran air, titik mati, arah aliran air, dan konfigurasi outlet).  Pembersihan sendiri (TSS) oleh bak terjadi karena pengaruh dari aliran air yang mengalir secara grafitasi akibat dari tinggi muka air yang dibuat berbeda antara tinggi air di dalam bak dengan pipa piezometrik outlet sedangkan efisiensinya dipengaruhi oleh perbedaan tekanan persial pada alas bak dan konfigurasi outlet sebagai variabel dalam uji ini. Model (FTED) Multichamber, desainnya yang menyerupai akuarium dengan penambahan sekat secara vertikal, hal ini menghasilkan tekanan air di semua sisi sekat sehingga mampu mendorong limbah naik ke permukaan lalu jatuh di tempat outlet.
1. Hidrodinamika Wadah Biofilter Dalam Sistem AMT
Biorektor atau wadah biofilter yang digunakan adalah konfigurasi desain beorektor multiple run-raceways yang telah diuji efiensi pengisihan total Amonia Nitrogen sebesar 82.94 (Sumoharjo, 2010). Materialnya dari talang air PVC dengan jarak setiap jalur adalah 2 meter, konfigurasinya terdiri atas 8 jalur yang disusun secara seri dimana setiap jalur dihubungkan dengan pipa PVC ¾ inchi dengan menggunakan lem epoxy agar tiap sambungan pipa agar tidak mengalami kebocoran pada saat air mengalir dari talang 1 ke talang berikutnya.Aliran air dengan debit 5 liter per menit akan bergerak sepanjang 16 meter secara laminer, kemudian berbelok dengan sudut 180º pada setiap jalurnya. Wheaton (1977) telah mengemukakan  bahwa gerakan air yang datar (laminer) tidak membuat banyak goncangan (turbulen) pada air, sehingga mencegah terjadinya resuspensi terhadap biosolid yang telah mengendap didasar bioreaktor.
Perubahan pola aliran air terlihat hanya terjadi turbulensi pada inlet dan outlet bioreaktor sedangkan di sepanjang bioreaktor aliran air bergerak secara laminer dengan kapasitas debit maksimum (maximum flow rate) 5 liter per menit. Karekteristik hidrodinamikanya ditunjukkan pada tabel 3 berikut ini :
Tabel 2. Karakteristik hidrodinamika bioreaktor
Karakteristik
Nilai
Satuan
Tinggi Air
6,5
Cm
Panjang
200
Cm
Lebar
13,5
Cm
Volume
140
Liter
Area permukaan (cross-sectional area)
4,16
m2
Debit maksimal (max. flow)
5
liter/menit
HRT (Hydraulic Retention Time)
28
menit
Frekuensi sirkulasi (Exchange rate)
2,14
kali/jam
Berdasarkan hasil pengukuran waktu retensi air dengan filter menunjukkan nilai sebesar 0,47 jam (28 menit). Jika nilai ini dibuktikan ke dalam persamaan Wheaton (1977) diperoleh efisiensi sebesar 98% TAN.

Kesimpulan

Sistem akuakultur yang dibangun pada penelitian ini adalah sistem konstruksi bak dengan bentuk alas yang berbeda untuk efisiensi pengeluaran limbah padat dimana perbedaan konstruksi berpengaruh terhadap limbah yang dikeluarkan serta hidrodinamikanya berdasarkan hasil pengukuran dan analisa dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari keempat model desain, bak yang paling efisien untuk mengalirkan sendiri (self-dicharge) atau pengeluaran limbah (TSS) secara grafitasi dengan debit 5 l/m adalah konstruksi Slope Tank-Centre Drain dengan efisiensi filtrasi sebesar 91,43%
2. Biofilter yang diterapkan dalam sistem AMT dengan aliran air dengan debit 5 l/m yang mengalir atau bergerak sepanjang 16 meter secara laminer, dengan berbelok dengan sudut 180º pada setiap jalur aliran. Sehingga aliran air atau gerakan tidak membuat banyak goncangan (turbulen) pada air, ini mencegah terjadinya resuspensi terhadap biosolid yang telah mengendap didasar bioreaktor.
3. Dari bahan pelapis yang digunakan dalam sistem ini ialah campuran resin dan katalis serta penambahan talk 1 bagian. Karena campuran resin dan katalis ini memiliki daya rekat yang sangat kuat serta daya gesernya tinggi, sehingga apabila terjadi pergerakan tidak terjadi kapilaritas air.

Daftar Pustaka
Sumber: DEDI FPIK UNMUL 2012

Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited, Chichester.
Affandi, R., D.S. Sjafei, M.F.  Raharjo dan Sulistiono. 2005.  Fisiologi Ikan, Pencernaan dan Penyerapan Makanan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aquaculture Certification Council. 2005. Aquaculture Facility Certification: Certifying Best Practices for Responsible Aquaculture. Aquaculture Certification Council, inc. United States. 26 p.
Barnes, M.E., Sayler, W.A. and Cordes, R.J., 1996. Baffle usage in covered raceways. Prog. Fish-Cult., 58, 286-288
Bauer, C. and Schlott, G. 2004 Overwintering of farmed common carp (Cyprinus carpio L.) in the ponds of a central European aquaculture facility - measurement of activity by radio telemetry. Aquaculture 241, 301-317
Bégout, M-L. and Lagardère, J. P. 1997 Swimming and feeding behaviour of sea bream and seabass raised in ponds. First Workshop (COST 827) on voluntary food intake in fish, Aberdeen (UK), 3-5 April 1997
Bégout Anras, M.L. and Lagardère, J.P. 2004 Measuring cultured fish swimming behaviour: first results on rainbow trout using acoustic telemetry in tanks. Aquaculture 240, pp 175-186
Boersen G. and Westers, H. 1986 Waste solids control in hatchery raceways. The Progressive Fish-Culturist 48, pp 151-154
Boyd, C. E and C. S. Tucker. 1992. Water Quality and Pond Soil Analyses for   Aquaculture. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. 183 p.
Brinker, A. and Rösch, R. 2005 Factors determining the size of suspended solids in a flow-through fish farm. Aquacultural engineering 33 (1), pp 1-19
Burrows, R.E. and Chenoweth, H. H., 1955. Evaluation of tree types of fish rearing ponds. U.S. Fish and Wildlife Service, Research Report 39, Washington, DC.
Cripps, S.J. and Poxton, M.G. 1992 A review of the design and performance of tanks    relevant to flatfish culture. Aquaculture Engineering 11, 71–91.
Conti, S. G., Roux, P., Fauvel, C., Maurer, B. D. and Demer, D. A. 2006 Acoustical monitoring of fish density, behaviour, and growth rate in a tank. Aquaculture 251, pp 314-323
Colt, J., 1991. Aquacultural production systems. J. Anim. Sci., 69: 4183-4192.
Data Indrani and Allen D. G. 2005. Biotecnology Korodor and Air Polltion Control © Springer – Verlag Berlin Heidelberg.
Davidson, J., Summerfelt, S., 2004. Solids flushing, mixing, and water velocity profiles within large (10 and 150 m3) circular ‘‘Cornelltype’’ dual-drain tanks. Aquacult. Eng. 32, 245–271.
Davison, W. 1997 The effects of exercise training on teleost fish, a review of recent literature. Comp. Biochem. Physiol. 117 (1), pp 67-75
Droppo, I.G., Jaskot, C., Nelson, T., Milne, J. and Charlton, M. 2007 Aquaculture waste sediment stability: Implications for waste migration. Water Air Soil Pollut 183, pp 59-68
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta : Kanisius.
Fitzsimmons, S. D., and Warburton, K. 1992 Fish movement behaviour: variability within and between groups. Behavioural Processes 26, pp 211-216
Flower, R.J. 1991 Field calibration and performance of sediment traps in a eutrophic holomictic lake. Journal of Paleolimnology 5, pp 175-188
Food and Agriculture Organization [FAO]. 2003. Simple Methods for Aquaculture : Manuals from The FAO Training Series. Rome, Italy.
Kato, S., Tamada, K., Shimada, Y., and Chujo, T. 1996 A quantification of goldfish behaviour by an image processing system. Research report. Behavioural Brain Research 80, pp 51-55
Kindschi, G.A., Thompson, R.G., and Mendoza, A.P. 1991 Use of raceway baffles in Rainbow trout culture. Prog. Fish-Cult. 53, 97-101
Kozerski, H-P. 1994 Possibilities and limitatios of sediment traps to measure sedimentation and resuspension. Hydrobilogia 284, pp 93-100
Labatut, R.A., Ebeling, J.M., Bhaskaran, R., and Timmons, M.B. 2007a Hydrodynamics of a Large-Scale Mixed-Cell Raceway (MCR): Experimental studies. Aquacultural Engineering 37, pp 132-143
Labatut, R.A., Ebeling, J.M., Bhaskaran, R., and Timmons, M.B. 2007b Effects of inlet and outlet flow characteristics on Mixed-Cell Raceway (MCR) hydrodynamics. Aquacultural Engineering 37, pp 158-170
Larmoyeux, J.D., Piper, R.G., and Chenoweth, H.H., 1973. Evaluation of circular tanks for salmonid production. Prog. Fish-Cult. 35, 122–131.
Lekang, O-I., Bergheim, A., and Dalen, H. 2000 An integrated wastewater treatment system for land-based fish-farming. Aquacultural Engineering 22, pp 199-211
Levenspiel, O. 1966 Chemical reaction engineering. Oregon State University (USA)



Comments

Popular posts from this blog

Laporan PKL PROSES PRODUKSI PENGOLAHAN AMPLANG IKAN BELIDA (Notopterus chitala) DI TOKO TERMINAL AMPLANG HJ. ADAWIYAH SAMARINDA

PLANKTON NET

Laporan PKL Alat Tangkap Bagan Congkel